Selasa, 13 Juli 2010

FINAL FIFA 2010 : ESPANA BERPESTAPORA, UGANDA DIRUNDUNG DUKA

64 ORANG TEWAS
Dua bom meledak hampir bersamaan di Kampala, Uganda bertepatan dengan pertandingan final Piala Dunia antara Spanyol melawan Belanda. Kelompok teroris Al Shabab yang berafiliasi dengan teroris Al Qaeda, saat ini dituding sebagai pelaku pengeboman yang menewaskan 64 jiwa tersebut. Kelompok yang memulai perlawanannya di Somalia pada 2006 lalu, Al Shabab tak ubahnya seperti Taliban yang ingin mendirikan negara Islam di Somalia. Demikian diberitakan BBC, Senin (12/7/2010). 

SHEIK YUSSUF : UGANDA MERUPAKAN MUSUH AL SHABAB
Spekulan publik lalu menghubungkan tudingan kepada Al Shabab melakukan serangan di Uganda tidak lepas dari keterlibatan Uganda yang mengirim 5 ribu pasukan perdamaian Uni Afrika ke Somalia.  
Uganda adalah salah satu musuh kami. Apapun yang membuat mereka menangis, bikin kami gembira. Semoga kemarahan Allah menimpa mereka yang melawan kami,” kata Sheik Yusuf Sheik Issa, salah satu komandan Al Shahab di Mogadishu, kepada AP.

Selasa, 04 Mei 2010

MV. DOULOS : BERDAKWAH DARI ATAS AIR


Kapal tua dengan panjangnya 130 meter dan berbobot 6.670 ton, MV Doulos, buatan tahun 1914. Dalam Perang Dunia II, kapal ini awalnya bernama Madina. Amerika Serikat mengkhusukan kapal ini sebagai kapal Patroli dan mengangkut tawanan. Pada 1948 namanya ditukar denan Roma. Pada 1952, kapal ini kemudian berganti pemilik dan namanya diganti menjadi Franca C. Fasilitasnya juga dilengkapi dengan kasino dan kolam renang. Pada 1977 kapal “gaek” ini dioperasikan oleh sebuah Yayasan Penginjilan Gute Bucher fur All di Mosbach, Jerman Barat, dan nama kapal ini juga kemudian diganti menjadi MV Doulos.

BERDAKWAH, MEMBERITAKAN INJIL DARI ATAS AIR
Dalam bahasa Yunani, Doulos artinya ialah Hamba atau Pelayan Tuhan. Kapal ini dihuni 330 awak kapal yang berasal dari berbagai bangsa (tujuh di antaranya dari Indonesa). Para Pekerja Tuhan ini terdiri dari berbagai latar belakang aliran Gereja, meski merela menolak disebut sebagai Oikumene - tetapi interdenominasi - karena ada dari Lutheran, Calvinis, Methodist, Pantekosta, dan Prisberiterian.

MENJUAL BUKU-BUKU INJIL BERBAGAI BAHASA DUNIA
Untuk menhidupi napas dakwah, selain dan hasil penjualan buku-buku, mereka didukung sekitar seratus ribu donatur dari 55 negara. Dan MV Doulos yang dilayarkan Yayasan Pekabaran Injil Gute Bucher fur All di Mosbach, Jerman Barat, itu sudah sandar di 171 pelabuhan di berbagai negara. Kapal Penginjil ini mengunjungi Indonesia dan berlabuh di Pelabuhan Belawan, Medan, Sumatera Utara, Indonesia 19 Maret 1988 lalu. Kegiatan awaknya, antara lain, memamerkan dan menjual 4 ribu judul buku - ada yang berbahasa Indonesia dan seperempatnya mengenai agama Kristen. "Sponsor kedatangan mereka adalah Persekutuan Injil Indonesia (PII) ," kata Soetjipto Danoekoesoemo, ketua panitianya.

MENGUNJUNGI REPUBLIK INDONESIA
Ketika di Belawan , 23 Maret 1988, pihak Panitia sempat menerima “Insruksi” dari Kabag Pammas Mabes Polri, Letkol. Ashari, yang isinya supaya kegiatan kapal MV. Doulos dibatasi di atas kapal saja. Selain itu, buku beraksara Cina tak boleh dijual atau dipamerkan, termasuk beberapa mengenai Saksi Jehovah, Aborsi dan Homoseks. Sedangkan khotbah dan kesaksian oleh rohaniwan asing di gereja setempat dilarang.
"Sudah sejak awal sebetulnya kami mengetahui ada rekan-rekan yang ingin berkhotbah di atas kapal, tapi kemudian ini dilarang oleh pemerintah," kata Soetjipto Danoekoesoemo, mantan Kapolri yang sekarang Ketua Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia, Jakarta Raya - yang bernaung di bawah Persekutuan Injil Indonesia (PII) itu.Kemudian Panitia hanya diizinkan untuk mengadakan dakwah, dengan Pendakwah dari awak kapal itu sendiri, itupun terbatas hanya dilakukan di atas kapal saja.

Adalah Mike Stachura, mantan tenaga peneliti sosial politik di Indonesia atas permintaan LIPI (1973-1974). Menurut Mike Stachura, selama 10 tahun masa pelayaran mereka dan sudah mengunjungi lima benua, belum pernah ada larangan atau pembatasan kegiatan yang demikian. "Kami tidak menerima penjelasan atau penyebab mengapa keputusan ini diberikan oleh kepolisian Republik Indonesia," kata ayah tiga anak itu. Kendati demikian, mereka harus mematuhi larangan itu.

IZIN MV. DOULOS DIBATASI
MV Doulos yang dikendalikan Carl Asaacson, 72 tahun, pada 28 Maret 1988 lalu berlayar ke Semarang. Kemudian berakhir di Tanjungpriok. Sedangkan jadwal ke Ujungpandang, Bitung, Ambon dibatalkan. Sebelumnya, MV Doulos berencana singgah selama tiga bulan di Indonesia. Namun Izin untuk MV. Doulos yang dikeluarkan oleh Kopkamtib kemudian dibatasi hingga 18 April 1988 dengan alasan bangsa Indonesia akan memasuki bulan suci Ramadan," kata Agus Lay. Memang, pertengahan April ini umat Islam memasuki bulan Ramadhan. "Kita harus saling menghormati. Panitia menyetujui pembatasan dengan memperpendek waktu labuh kapal. Ini menunjukkan ada kerukunan umat beragama," kata Dr. Tarmidzi Thahir selaku Sekjen Departemen Agama.

Senin, 26 April 2010

BLESS Percetakan & Sablon Karawang

Jasa Percetakan dan Printing di timur kota Karawang , menerima berbagai jenis order cetakan Undangan , Spanduk , Banner , Digital Print , ID Card , Form dan Dokumentasi lainnya...

Hubungi kami segera : shalmedia@gamil.com atau 08128669542 , harga ekonomis dan terjangkau... sebagai bukti keseriusan kami , kami bersedia dengan layanan antar jemput , menghemat waktu dan mobilisasi anda, cukup hubungi kami dan buat kesepakatan. Kami.

Senin, 19 April 2010

ORANG YANG BENAR, BESAR DAN KUAT

Diantara para Nabi , Yesaya merupakan salah satu pilihan Allah yang dipakai luar biasa oleh Allah. Allah memberikan hikmat dan penglihatan kepada Yesaya sedemikian lengkap, termasuk nubuatan akan kelahiran , penderitaan, kematian dan kebangkitan Yesus Kristus, Hamba Allah, Anak Allah, Tuhan kita.

Maki kita simak kutipan kitab Yesaya dibawah ini :
Yesaya 53:11 Sesudah kesusahan jiwanya ia akan melihat terang dan menjadi puas; dan hamba-Ku itu, sebagai orang yang benar, akan membenarkan banyak orang oleh hikmatnya, dan kejahatan mereka dia pikul.

53:12 Sebab itu Aku akan membagikan kepadanya orang-orang besar sebagai rampasan, dan ia akan memperoleh orang-orang kuat sebagai jarahan, yaitu sebagai ganti karena ia telah menyerahkan nyawanya ke dalam maut dan karena ia terhitung di antara pemberontak-pemberontak, sekalipun ia menanggung dosa banyak orang dan berdoa untuk pemberontak-pemberontak.

Hamba yang dimaksudkan dalam Yesaya 53:11 menunjuk pada sosok Yesus sebagai Orang Yang Benar, yang telah mati di katu salib untuk menanggung dosa dan kutuk manusia. Manusia hanya bisa dibenarkan apabila percaya dan tunduk kepada perkataan Yesus, yaitu Firman itu sendiri. Orang-orang (manusia) yang percaya dan mengikuti jalan-Nya akan menjadi orang-orang yang BENAR, orang-orang yang BESAR dan menkaji orang-orang yang KUAT ( Yesaya 53:12 ).

© 4/2010 SANM

Selasa, 13 April 2010

RIWAYAT SANG NAUALUH - RAJA SIANTAR

Orang Simalungun teramat dikenal sangat anti kolonialime. Pernyataan ini bukan tidak beralasan, Tuan Rondahaim Saragih, Raja Kerajaan Raya, misalnya, menolak kedatangan Tengku Mohamad Nurdin seorang Raja dari Kerajaan Padang di Bulian Tebing Tinggi karena membawa buah tangan produk kolonial, gramafon; padahal keduanya merupakan saudara dekat karena Tuan Rondahaim bermarga Saragih Garingging dan Tengku Mohamad Nurdin bermarga Saragih Dasalak. Tuan Rondahaim Saragih pernah membela mati-matian akan kedudukan Tengku Mohammad Nurdin Saragih sebagai Raja Kerajaan Padang ( Tebing Tinggi ) yang saat itu akisis oleh Kerajaan Deli yang didukung oleh Kolonialisme Belanda.

Perlawanan demi perlawanan terhadap kolonilisme Belanda di SImalungun terjadi dimana-mana. Seperti perlawanan Tuan Raimbang dari Dolog Panribuan. Akhirnya Tuan Raimbang tertangkap dan dibuang ke Pulau Jawa dan tidak diketahui tempat atau makamnya hingga kini. Tuan Jontama Purba Dasuha, Raja Panei, sampai saat ini juga belum diketahui tempat atau makamnya karena protes akibat kesewenang-wenangan pemerintah kolonial kepada Asisten Residen Sumatera Timur di Medan.. Serta perlawanan rakyat Girsang Sirpangan Bolon yang menyerang pos kolonial di Parapat dan dapat dilumpuhkan pada 1906.

Lain lagi dengan Pangulu Amad alias Ahmad Rasjid Damanik (1899-1978) seorang Penghulu di Bandar Tinggi ( dekat Pematang Siantar ), merelakan harta serta perhiasan istrinya untuk perjuangan rakyat Bandar Tinggi, Sibatu-batu dan Partimbalan untuk menentang kolonialisme berkuasa. Ahmad Rasjid Damanik, begitu nama asli Pangulu Amat, mampu menyatukan Orang Simalungun dengan Puak Banjar, Rao, Melayu, Mandailing dan Jawa yang sebelumnya terpecah belah karena ulah devide et impera-nya Belanda. Ketika Belanda mengejar-ngejar Pangulu Amad untuk dibuang ke Digul, Pangulu Amat lari mengatur siasat ke Bandar Sakti Tebing Tinggi. Seorang pejuang tangan kanan Pangulu Amat bernama Buyung mengorbankan diri untuk dibuang ke Digul.

Begitu pula dengan Sang Naualuh, raja ke XIV dari Kerajaan Siantar di Simalungun dari klen Damanik. Sosok bangsawan patriotik nan sufi ini adalah putra Tuan Mapir yang bermarga Damanik dan ibunya bernama Panak Boru Gajing dari klen Saragih. Ketika Kontelir Kroesen melakukan pertemuan dengan Sang Naualuh, pada 16 September 1888, Sang Naualuh dipangku secara adat oleh bapa angginya Tuan Anggi serta didampingi Raja Hitam dan Bah Bolak. Kontelir Kroesen meminta agar Kerajaan Siantar bersedia tunduk ke bawah Pemerintahan Hindia Belanda. Namun yang terjadi, Sang Naualuh menolak tegas permintaan wakil Pemerintah Belanda, sehingga Belanda menganggap Sang Naualuh tidak menghormati undangan mereka. Padahal usia Sang Naualuh baru 17 tahun saat itu, cukup belia untuk mampu menjadi pengambil keputusan bagi orang kebanyakan. Melihat sikap Sang Naulauh yang tegas dan anti kompromis dengan penjajah, akhirnya Belanda menerbitklan Besluit No. 25 (tgl. 23 Oktober 1889) yang berisi pengakuan Sang Naualuh sebagai Raja Siantar. Besluit ini menyiratkan kehati-hatian Belanda terhadap sikap Sang Naualuh, mencari perhatian Sang Naualuh serta ingin mempermudah ruang gerak Belanda dalam kekuasaan birokrasi serta penanaman modal asing pada lahan perkebunan. Namun semua ini tidak digubris Sang Naualuh yang sangat diteladani rakyatnya ini.

Sikap patriotik Sang Naualuh tampak jelas ketika melihat prilaku Tuan Marihat. Meskipun Tuan Marihat adalah bapa angginya, namun Sang Naualuh sempat mengusir keluar dari Kerajaan Siantar karena dianggap tidak menunjukkan sikap proaktif terhadap Kerajaan Tanah Jawa yang akan diserang Belanda. Walau kemudian untuk menghindarkan masuknya politik campur tangan Belanda, pada Maret 1891 Sang Naualuh memanggil dengan arif sang bapa anggi, Tuan Marihat, untuk kembali berdamai.

SANG NAUALUH MEMELUK AGAMA ISLAM
Waktu itu belum ada agama di Simalungun. Yang ada adalah agama suku , yakni Kepercayaan Parmalim dan Sipajuh begu-begu. Pada tahun 1901, Sang Naualuh mendapat hidayah dan memeluk agama Islam. Dengan waktu yang teramat singkat, beliau mampu menguasai Ilmu Tauhid, Fiqih dan Ilmu Akhlak. Sang Naualuh mengajarkan kebersihan hati dan fisik kepada rakyatnya. Dengan kebersihan hati, firasat akan tajam. Dengan kebersihan fisik, firasat akan terejawantah. Sang Naulauh mengajarkan rakyatnya untuk mandi setiap hari dan menyikat gigi dengan teratur serta mencukur rambut. Untuk produktifitas lahan dan hasil pertanian, Sang Naualuh mengajarkan sistem lahan tetap karena sebelumnya memakai sistem lahan berpindah serta mengajarkan penanaman serempak dengan menata ulang kembali adat yang sudah ada di masyarakat Simalungun, yaitu Haroan (gotong royong) dan marsialop ari (kelompok tani).

Kemudian juga, Beliau menggiatkan pengajian Agama Islam, dengan mendirikan Makhtab di wilayah Pamatang, Perdagangan maupun Bandar Tinggi. Beliau juga mendatangkan Mualim pengajar Agama Islam dari Pagurawan dan beberapa tempat lainnya. Melihat sikap Sang Naulaluh yang terus saja membenahi pembangunan fisik dan rohani wilayah Kerajaan Siantar tanpa melibatkan campur tangan Pemerintah Hindia Belanda, berkali-kali kontelir Belanda di Batubara melayangkan surat panggilan. Bukan menghadiri panggilan Meneer Belanda itu, Sang Naualuh malah meminta Sang Meneer dan utusan untuk bertobat atau jika tidak akan diserang oleh Pasukan Inti Kerajaan Siantar.

Kontelir Belanda di Batubara sudah kehabisan cara. Kontelir mengadukan sikap yang membahayakan dari Sang Naulauh terhadap keutuhan dan harga diri Pemerintahan Hindia Belanda kepada Gubernemen. Dengan penuh kemarahan Gubernemen mengeluarkan Besluit No. 1 (tgl 24 April 1906). Besluit tersebut memaktub tentang penjatuhan kekuasaan Sang Naulauh serta membuangnya ke Pulau Bengkalis. Bersama salah seorang abdinya, Bah Bolak, Sang Naualuh ditangkap Belanda dan diasingkan. Sejak itu Kerajaan Siantar di bawah pengawasan Belanda. Belanda kemudian menobatkan putra Sang Naualuh yang masih teramat muda, Tuan Riah Kadim menjadi raja pengganti. Tuhan Riah Kadim yang masih polos itu kemudian diserahkan Belanda kepada Pendeta Zending Guillaume di Purba. Pada Tahun 1916, Tuhan Riah Kadim diubah namanya menjadi Waldemar Tuan Naga Huta dan diakui Belanda sebagai Raja.

SANG NAUALUH DI BENGKALIS
Sang Naualuh di pembuangan menempati sebidang tanah perladangan bekas milik Syahbuddin gelar Batin Senggoro dekat sungai Bengkalis. Disini ia semakin mendekatkan diri dengan Sang Khalik melalui amalan-amalan syalifussalam . Banyak penduduk tempatan yang berguru kepadanya. Konon kabar dari empunya cerita, dengan kesufiannya Sang Naulauh mampu berjalan diatas Sungai Bengkalis sambil memberi makan ikan yang ada disungai itu. Sebuah batu besar menghadap arah kiblat, merupakan tempat Sang Naualuh merafalkan wiridan untuk menuju sibghotullah.

Sang Naualuh bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Tidak sedikit bangsawan melayu dan masyarakat setempat datang untuk berguru dan berobat dengan sentuhan tangan beliau dengan izin Allah. Sang Naualuh pun digelari Datuk Botuah. Perigi tempat Sang Naualuh berwudhu, sering diambil airnya oleh penduduk untuk washilah kesembuhan dan penjemput semangat. Bahkan Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin ibni Sultan Kasyim Awal pernah meminta petunjuk kepadanya.

Walaupun di negeri pembuangan, Sang Naualuh tetap mengirim kabar kepada rakyat di Kerajaan Siantar untuk membangkitkan semangat juang Habonaron do bona yaitu kebenaran sebagai cikal dari segalanya. Pada tahun 1913 ketika kerabat beliau berkunjung, dibelakang sebuah photo yang diberikan, beliau menulis dalam bahasa dan aksara Simalungun. Tulisan itu kira-kira bermakna: “Orang tua kami, bersatulah di dunia selama hidup demi keutuhan bangsa. Saya diperantauan”. Pada tahun 1914, Sang Naualuh mangkat dan dikebumikan disebuah tanah wakaf di Jl. Bantam Bengkalis. Beliau pergi dengan meninggalkan bekas kesufiannya, Sapangambei Manoktok Hitei, seiring seirama menggapai tujuan. (M Muhar Omtatok)
Pada pusara Sang Naualuh di Bengkalis tertulis: “Makam Raja Batak beragama Islam”. (Erond L. Damanik, M.Si)

SEJARAH SIMALUNGUN

Dari sumber-sumber kuno dan cerita-cerita rakyat di Simalungun, orang yang kemudian menjadi suku Simalungun adalah keturunan keturunan dari berragam nenek moyang. Dalam perjalanan sejarahnya, suku Simalungun datang dalam dua gelombang. Gelombang pertama (Proto Simalungun) diperkirakan datang dari India Selatan (Nagore) dan India Timur (Pegunungan Assam) sekitar abad ke-5 menyusuri Birma terus ke Siam dan Melaka selanjutnya menyebrang ke Sumatera Timur dan mendirikan Kerajaan Nagur dari Raja dinasti Damanik. Dan kemudian gelombang kedua (Deutro Simalungun) yang merupakan pembaruan suku-suku tetangga dengan suku Simalungun asli (Herman Purba Tambak, SIB 3/9/2006, hlm. 9).

Selanjutnya panglima-panglima (Raja Goraha) Kerajaan Nagur bermarga Saragih, Sinaga dan Purba dijadikan menantu oleh Raja Nagur dan kelak mendirikan kerajaan-kerajaan : Silou (Purba Tambak), Tanoh Djawa (Sinaga), Raya (Saragih). Kerajaan-kerajaan ini pada abad XIII-XV mengalami serangan-serangan dari tentara Singasari, Majapahit, Rajendra Chola dari India dan terakhir Aceh, sultan-sultan Melayu dan Belanda. Terkenal dalam cerita-cerita rakyat Simalungun akan ”hattu ni sappar” yang melukiskan situasi mengerikan di Simalungun akibat peperangan itu, mayat-mayat bergelimpangan, kericuhan sehingga mengakibatkan wabah penyakit kolera. Para Raja dan rakyat mengungsi ke seberang Laut Tawar (obat penawar Sappar) sampai ke sebuah pulau yang kemudian dinamai “Samosir” ( Sahali misir). Sementara itu, para budak (Hatoban) Kerajaan turut menyelamatkan diri. Ada menyebutkan bahwa dari komunitas Hatoban ini sebagai asal suku Toba.

Kelak keturunan mereka yang berdiam di Samosir kembali lagi ke kampung halamannya (huta hasusuran) di Nagur dan dilihatlah daerah itu sudah ditinggalkan orang karena mengungsi, sepi dan yang tersisa hanya peninggalan rakyat Nagur, sehingga dinamakanlah daerah Nagur itu “sima-sima ni nalungun” dan lama kelamaan menjadi Simalungun (daerah yang sunyi sepi) (M.D Purba, 1997).

Adanya imigrasi dari suku-suku tetangga khususnya dari Samosir, Silalahi, Karo, dan Pakpak menyebabkan adanya timbul marga baru di Simalungun, seperti: marga Sidauruk, Sidabalok, Siadari, Simarmata, Simanihuruk, Sidabutar, Munthe, Sijabat yang berafiliasi dengan marga Saragih, Manorsa, Simamora, Sigulang Batu, Parhorbo, Sitorus dan Pantomhobon yang berafiliasi dengan marga Purba, Malau, Limbong, Sagala, Gurning, Manikraja yang berafiliasi dengan marga Damanik, Sipayung, Sihaloho, Sinurat, Sitopu yang berafiliasi dengan marga Sinaga (tetapi sejak Revolusi Sosial sudah kembali ke marga asalnya). Selain itu masih ada marga Lingga, Manurung, Butar-butar, Sirait di Simalungun timur dan barat.

Demikianlah sampai zaman modern ini “warna-warni” suku Simalungun ini menyebabkan budaya suku Simalungun menjadi jamak dan bahkan nyaris “hilang” karena terlalu terbukanya dengan para pendatang. Belum lagi dengan suku Simalungun yang masuk Islam sejak abad XV di Asahan dan Deli serta Serdang mengaku dirinya Melayu dan menghilangkan identitasnya sebagai suku Simalungun.

Dahulu kala menurut Tuan Taralamsyah Saragih (surat pribadi,1963), orang Simalungun asli itu merupakan keturunan dari empat raja-raja besar yang berasal dari Siam dan India dengan rakyatnya masuk ke Sumatera Timur terus ke Aceh, Langkat dan daerah Bangun Purba dan Bandar Kalifah sampai Batubara. Akibat desakan orang “Djau”, berangsur-angsur mereka mencapai pinggiran Danau Toba sampai ke Samosir. Adapun keempat marga-marga Simalungun yang empat populer dengan nama SISADAPUR (Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba) berasal dari “harungguan bolon” (permusyawaratan besar) raja-raja yang empat itu agar jangan saling menyerang, bermusuhan dan “marsiurupan bani hasunsahan na legan, rup mangimbang munssuh.” Keempat raja itu adalah:


RAJA NAGUR
Marga Damanik = Simada Manik, Simalungun: “Manik” = tonduy,sumangat, tunggung, (yang bersemangat, berkharisma, agung) halanigan, tercerdas Raja Nagur on marimbang raja na legan janah bahatan balani. Mereka ini berasal dari kaum bangsawan India Selatan dari Kerajaan Nagore. Keturunan Raja Nagur ini pada abad ke-12 terbagi menjadi tiga bagian menurut keturunan ketiga putera raja Nagur yang mengungsi dari Pamatang Nagur di Pulau Pandan akibat serangan Raja Rajendra Chola dari India, yaitu : Marah Silau (yang menurunkan Raja Manik Hasian, Raja Jumorlang, Raja Sipolha, Raja Siantar, Tuan Raja Sidamanik dan Tuan Raja Bandar), Soro Tilu (yang menurunkan marga raja Nagur di sekitar gunung Simbolon: Damanik Nagur, Bayu, Hajangan, Rih, Malayu, Rappogos, Usang, Rih, Simaringga, Sarasan, Sola), Timo Raya (yang menurunkan raja Bornou, Raja Ula dan keturunannya Damanik Tomok). Kemudian datang marga keturunan Silau Raja, Ambarita Raja, Gurning Raja, Malau Raja, Limbong, Manik Raja mengaku Damanik di Simalungun yang berasal dari Pulau Samosir.

RAJA BANUA SOBOU
Saragih: Simalungun : Simada Ragih; Ragih = atur, susun, tata (pemilik aturan, pengatur, pemegang undang-undang, penyusun). Keturunannya adalah Saragih Garingging yang pernah merantau ke Ajinembah dan kembali ke Raya, Saragih Sumbayak keturunan Tuan Raya Tongah, Pamajuhi, dan Bona ni Gonrang. Pada zaman Tuan Rondahaim, marga Turnip, Sidauruk, Simarmata, Sitanggang, Munthe, Sijabat, Sidabalok, Sidabukke, Simanihuruk mengaku dirinya Saragih di Simalungun. Jelaslah bahwa hanya dua keturunan Raja Banua Sobou yakni : Sumbayak dan Garingging. Garingging kemudian pecah lagi menjadi Dasalak dan Dajawak. Dasalak menjadi raja di Padang Badagei, dan Dajawak merantau ke Rakutbesi dan Tanah Karo dengan Marga Ginting Jawak. Sedangkan Pardalan Tapian adalah berasal marga dari Samosir.

RAJA BANUA PURBA

Purba adalah bahasa Sansekerta “purwa” artinya timur, gelagat masa datang, pengatur, pemegang undang-undang, tenungan pengetahuan, cendikiawan/sarjana. Keturunannya adalah :Tambak, Sigumonrong, Tua, Sidasuha (Sidadolog, Sidagambir). Kemudian ada lagi Purba Siborom Tanjung, Pakpak, Girsang, Tondang, Sihala, Raya. Pada abad ke-18 datang marga Simamora dari Bakkara melalui Samosir ke Haranggaol dan mengaku dirinya Purba, merekalah yang menurunkan marga Purba Manorsa yang tinggal di Tangga Batu dan Purbasaribu.

RAJA SANIANG NAGA ALIAS TANDUK BANUA

Raja Saniang Naga bermarga Sinaga atau Tanduk Banua (terletak di perbatasan Simalungun dengan tanah Karo). Marga Sinaga = Simada Naga adalah marga asli Simalungun. Naga dikenal juga dengan mitologi dewa yang penjaga bumi yang menyebabkan gempa dan tanah longsor. Keturunannya adalah marga Sinaga di Kerajaan Tanah Jawa, Batangiou di Asahan.

Tuan Girsang Sipangan Bolon adalah anakboru Raya pada zaman kerajaan-kerajaan Simalungun. Pada abad ke XIV saat serangan Majapahit, pasukan dari Jambi dipimpin Panglima Bungkuk dengan pasukannya melarikan diri ke Kerajaan Batangiou dan mengaku dirinya Sinaga, dan menurut Taralamsyah Saragih nenek moyang mereka ini kemudian menjadi raja Tanoh Djawa dengan marga Sinaga Dadihoyong setelah mengalahkan Tuan Raya Si Tonggang marga Sinaga dari kerajaan Batangiou dalam adu sumpah (sibijaon) (Tideman, 1922).

Sementara Tuan Gindo Sinaga keturunan Tuan Djorlang Hataran mengaku Sinaga keturunan raja Tanoh Djawa berasal dari India. Beberapa keluarga besar Partongah Raja Tanoh Djawa menghubungkannya dengan daerah Naga Land (Tanah Naga) di India Timur yang berbatasan dengan Birma yang memang memiliki banyak Similaritas dengan adat kebiasaan, postur wajah dan anatomi tubuh serta bahasa dengan suku Simalungun dan Batak lainnya.

Orang Simalungun tidak terlalu mementingkan soal “silsilah” karena penentu partuturan di Simalungun adalah “hasusuran” (tempat asal nenek moyang) dan tibalni parhundul dalam horja-horja adat. Dahulu kalau orang Simalungun bertemu, bukan langsung bertanya “aha marga ni ham?” tetapi “hunja do hasusuran ni ham?” seperti pepatah Simalungun “Sin Raya, sini Purba, sin Dolog, sini Panei. Na ija pe lang na mubah, asal ma marholong ni atei.” Kenapa? Karena seluruh marga raja-raja Simalungun itu diikat oleh persekutuan adat yang erat oleh karena konsep perkawinan antara raja dengan “puang bolon” (permaisuri) yang adalah puteri raja tetangganya. Seperti raja Tanoh Djawa dengan puang bolon dari Kerajaan Siantar (Damanik), raja Siantar yang puang bolonnya dari Partuanan Silappuyang, raja Panei dari putri raja Siantar, raja Silau dari putri raja Raya, raja Purba dari putri raja Siantar dan Silimakuta dari putri raja Raya atau Tongging.

Zaman raja-raja Simalungun, orang yang tidak jelas garis keturunannya dari raja-raja disebut “jolma tuhe-tuhe” atau “silawar” (pendatang). Zaman dahulu mereka ini akibat hukum marga yang keras di Simalungun menyatukan dirinya dengan marga raja-raja agar mendapat hak hidup di Simalungun.

Demikianlah sehingga makin bertambah banyak marga di Simalungun. Tetapi meski demikian sejak dahulu hanya ada empat marga pokok di Simalungun yakni Sisadapur : Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba. Setelah raja-raja dikuasai Belanda sejak ditandatanganinya Korte Verklaring (Perjanjian Pendek) tahun 1907 dan dihapuskannya kerajaan/feodalisme dalam aksi Revolusi Sosial tanggal 3 Maret 1946 sampai April 1947, peraturan tentang marga itu hapus di Simalungun. Masing-masing marga kembali lagi ke marga aslinya dan ke sukunya semula.

Jadi salah satu cara untuk mempertahankan identitas Simalungun adalah dengan mengetahui garis keturunan orang Simalungun itu sendiri dan berbudaya, beradat, berbahasa Simalungun agar tidak larut dengan etnis lain yang memiliki kemiripan marga, budaya, bahasa dan adat-istiadat.

2000 MANUSCRIPT BATAK DI BELANDA

Dikatakannya 2000-an naskah budaya Batak kini disimpan rapi Belanda dan Jerman serta sekitar 1.000 naskah dalam bentuk lak-lak (kulit kayu) dan sisanya dalam bentuk bambu atau tulang. Ia tidak tahu naskah tersebut dari abad atau tahun berapa karena penulisnya tidak mencantumkan tanggal. Hanya saja ia tahu manuscrpt tersebut dibawa ke Belanda atau Jerman, sekitar tahun 1700-an. Uli Kozok yang fasih berbahasa Batak dan berbahasa Indonesia menambahkan, dari ribuan naskah Batak tersebut, baru 2 yang dapat diakses melalui internet oleh masyarakat Sumut karena telah diolah dalam bentuk digital, dua naskah tersebut berasal dari Bremen dan Biloit di Belanda.

Dari dua naskah yang telah ia olah dalam bentuk digital tersebut banyak dimanfaatkan masyarakat, khususnya mahasiswa untuk mencari informasi. Naskah Batak juga dianggap lebih aman dan terjamin keberadaan dan pelestariannya jika berada di luar negeri dibandingkan dengan Indonesia karena kalau di luar negeri peluang untuk diperjualbelikan atau disalahgunakan pihak-pihak tertentu jauh lebih kecil dibandingkan dengan di Indonesia. Sebaliknya di Indonesia banyak benda budaya yang seharusnya dijaga, tapi malah dijual.

Naskah Batak paling banyak berada di Tropen Museum Amsterdam, Univercitei Fsbiblio Fheek Leiden (Perpustakaan Universitas Leiden), dan Museum Antropologi Leiden.