Orang Simalungun teramat dikenal sangat anti kolonialime. Pernyataan ini bukan tidak beralasan, Tuan Rondahaim Saragih, Raja Kerajaan Raya, misalnya, menolak kedatangan Tengku Mohamad Nurdin seorang Raja dari Kerajaan Padang di Bulian Tebing Tinggi karena membawa buah tangan produk kolonial, gramafon; padahal keduanya merupakan saudara dekat karena Tuan Rondahaim bermarga Saragih Garingging dan Tengku Mohamad Nurdin bermarga Saragih Dasalak. Tuan Rondahaim Saragih pernah membela mati-matian akan kedudukan Tengku Mohammad Nurdin Saragih sebagai Raja Kerajaan Padang ( Tebing Tinggi ) yang saat itu akisis oleh Kerajaan Deli yang didukung oleh Kolonialisme Belanda.
Perlawanan demi perlawanan terhadap kolonilisme Belanda di SImalungun terjadi dimana-mana. Seperti perlawanan Tuan Raimbang dari Dolog Panribuan. Akhirnya Tuan Raimbang tertangkap dan dibuang ke Pulau Jawa dan tidak diketahui tempat atau makamnya hingga kini. Tuan Jontama Purba Dasuha, Raja Panei, sampai saat ini juga belum diketahui tempat atau makamnya karena protes akibat kesewenang-wenangan pemerintah kolonial kepada Asisten Residen Sumatera Timur di Medan.. Serta perlawanan rakyat Girsang Sirpangan Bolon yang menyerang pos kolonial di Parapat dan dapat dilumpuhkan pada 1906.
Lain lagi dengan Pangulu Amad alias Ahmad Rasjid Damanik (1899-1978) seorang Penghulu di Bandar Tinggi ( dekat Pematang Siantar ), merelakan harta serta perhiasan istrinya untuk perjuangan rakyat Bandar Tinggi, Sibatu-batu dan Partimbalan untuk menentang kolonialisme berkuasa. Ahmad Rasjid Damanik, begitu nama asli Pangulu Amat, mampu menyatukan Orang Simalungun dengan Puak Banjar, Rao, Melayu, Mandailing dan Jawa yang sebelumnya terpecah belah karena ulah devide et impera-nya Belanda. Ketika Belanda mengejar-ngejar Pangulu Amad untuk dibuang ke Digul, Pangulu Amat lari mengatur siasat ke Bandar Sakti Tebing Tinggi. Seorang pejuang tangan kanan Pangulu Amat bernama Buyung mengorbankan diri untuk dibuang ke Digul.
Begitu pula dengan Sang Naualuh, raja ke XIV dari Kerajaan Siantar di Simalungun dari klen Damanik. Sosok bangsawan patriotik nan sufi ini adalah putra Tuan Mapir yang bermarga Damanik dan ibunya bernama Panak Boru Gajing dari klen Saragih. Ketika Kontelir Kroesen melakukan pertemuan dengan Sang Naualuh, pada 16 September 1888, Sang Naualuh dipangku secara adat oleh bapa angginya Tuan Anggi serta didampingi Raja Hitam dan Bah Bolak. Kontelir Kroesen meminta agar Kerajaan Siantar bersedia tunduk ke bawah Pemerintahan Hindia Belanda. Namun yang terjadi, Sang Naualuh menolak tegas permintaan wakil Pemerintah Belanda, sehingga Belanda menganggap Sang Naualuh tidak menghormati undangan mereka. Padahal usia Sang Naualuh baru 17 tahun saat itu, cukup belia untuk mampu menjadi pengambil keputusan bagi orang kebanyakan. Melihat sikap Sang Naulauh yang tegas dan anti kompromis dengan penjajah, akhirnya Belanda menerbitklan Besluit No. 25 (tgl. 23 Oktober 1889) yang berisi pengakuan Sang Naualuh sebagai Raja Siantar. Besluit ini menyiratkan kehati-hatian Belanda terhadap sikap Sang Naualuh, mencari perhatian Sang Naualuh serta ingin mempermudah ruang gerak Belanda dalam kekuasaan birokrasi serta penanaman modal asing pada lahan perkebunan. Namun semua ini tidak digubris Sang Naualuh yang sangat diteladani rakyatnya ini.
Sikap patriotik Sang Naualuh tampak jelas ketika melihat prilaku Tuan Marihat. Meskipun Tuan Marihat adalah bapa angginya, namun Sang Naualuh sempat mengusir keluar dari Kerajaan Siantar karena dianggap tidak menunjukkan sikap proaktif terhadap Kerajaan Tanah Jawa yang akan diserang Belanda. Walau kemudian untuk menghindarkan masuknya politik campur tangan Belanda, pada Maret 1891 Sang Naualuh memanggil dengan arif sang bapa anggi, Tuan Marihat, untuk kembali berdamai.
SANG NAUALUH MEMELUK AGAMA ISLAM
Waktu itu belum ada agama di Simalungun. Yang ada adalah agama suku , yakni Kepercayaan Parmalim dan Sipajuh begu-begu. Pada tahun 1901, Sang Naualuh mendapat hidayah dan memeluk agama Islam. Dengan waktu yang teramat singkat, beliau mampu menguasai Ilmu Tauhid, Fiqih dan Ilmu Akhlak. Sang Naualuh mengajarkan kebersihan hati dan fisik kepada rakyatnya. Dengan kebersihan hati, firasat akan tajam. Dengan kebersihan fisik, firasat akan terejawantah. Sang Naulauh mengajarkan rakyatnya untuk mandi setiap hari dan menyikat gigi dengan teratur serta mencukur rambut. Untuk produktifitas lahan dan hasil pertanian, Sang Naualuh mengajarkan sistem lahan tetap karena sebelumnya memakai sistem lahan berpindah serta mengajarkan penanaman serempak dengan menata ulang kembali adat yang sudah ada di masyarakat Simalungun, yaitu Haroan (gotong royong) dan marsialop ari (kelompok tani).
Kemudian juga, Beliau menggiatkan pengajian Agama Islam, dengan mendirikan Makhtab di wilayah Pamatang, Perdagangan maupun Bandar Tinggi. Beliau juga mendatangkan Mualim pengajar Agama Islam dari Pagurawan dan beberapa tempat lainnya. Melihat sikap Sang Naulaluh yang terus saja membenahi pembangunan fisik dan rohani wilayah Kerajaan Siantar tanpa melibatkan campur tangan Pemerintah Hindia Belanda, berkali-kali kontelir Belanda di Batubara melayangkan surat panggilan. Bukan menghadiri panggilan Meneer Belanda itu, Sang Naualuh malah meminta Sang Meneer dan utusan untuk bertobat atau jika tidak akan diserang oleh Pasukan Inti Kerajaan Siantar.
Kontelir Belanda di Batubara sudah kehabisan cara. Kontelir mengadukan sikap yang membahayakan dari Sang Naulauh terhadap keutuhan dan harga diri Pemerintahan Hindia Belanda kepada Gubernemen. Dengan penuh kemarahan Gubernemen mengeluarkan Besluit No. 1 (tgl 24 April 1906). Besluit tersebut memaktub tentang penjatuhan kekuasaan Sang Naulauh serta membuangnya ke Pulau Bengkalis. Bersama salah seorang abdinya, Bah Bolak, Sang Naualuh ditangkap Belanda dan diasingkan. Sejak itu Kerajaan Siantar di bawah pengawasan Belanda. Belanda kemudian menobatkan putra Sang Naualuh yang masih teramat muda, Tuan Riah Kadim menjadi raja pengganti. Tuhan Riah Kadim yang masih polos itu kemudian diserahkan Belanda kepada Pendeta Zending Guillaume di Purba. Pada Tahun 1916, Tuhan Riah Kadim diubah namanya menjadi Waldemar Tuan Naga Huta dan diakui Belanda sebagai Raja.
SANG NAUALUH DI BENGKALIS
Sang Naualuh di pembuangan menempati sebidang tanah perladangan bekas milik Syahbuddin gelar Batin Senggoro dekat sungai Bengkalis. Disini ia semakin mendekatkan diri dengan Sang Khalik melalui amalan-amalan syalifussalam . Banyak penduduk tempatan yang berguru kepadanya. Konon kabar dari empunya cerita, dengan kesufiannya Sang Naulauh mampu berjalan diatas Sungai Bengkalis sambil memberi makan ikan yang ada disungai itu. Sebuah batu besar menghadap arah kiblat, merupakan tempat Sang Naualuh merafalkan wiridan untuk menuju sibghotullah.
Sang Naualuh bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Tidak sedikit bangsawan melayu dan masyarakat setempat datang untuk berguru dan berobat dengan sentuhan tangan beliau dengan izin Allah. Sang Naualuh pun digelari Datuk Botuah. Perigi tempat Sang Naualuh berwudhu, sering diambil airnya oleh penduduk untuk washilah kesembuhan dan penjemput semangat. Bahkan Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin ibni Sultan Kasyim Awal pernah meminta petunjuk kepadanya.
Walaupun di negeri pembuangan, Sang Naualuh tetap mengirim kabar kepada rakyat di Kerajaan Siantar untuk membangkitkan semangat juang Habonaron do bona yaitu kebenaran sebagai cikal dari segalanya. Pada tahun 1913 ketika kerabat beliau berkunjung, dibelakang sebuah photo yang diberikan, beliau menulis dalam bahasa dan aksara Simalungun. Tulisan itu kira-kira bermakna: “Orang tua kami, bersatulah di dunia selama hidup demi keutuhan bangsa. Saya diperantauan”. Pada tahun 1914, Sang Naualuh mangkat dan dikebumikan disebuah tanah wakaf di Jl. Bantam Bengkalis. Beliau pergi dengan meninggalkan bekas kesufiannya, Sapangambei Manoktok Hitei, seiring seirama menggapai tujuan. (M Muhar Omtatok)
Pada pusara Sang Naualuh di Bengkalis tertulis: “Makam Raja Batak beragama Islam”. (Erond L. Damanik, M.Si)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar