Jasa Percetakan dan Printing di timur kota Karawang , menerima berbagai jenis order cetakan Undangan , Spanduk , Banner , Digital Print , ID Card , Form dan Dokumentasi lainnya...
Hubungi kami segera : shalmedia@gamil.com atau 08128669542 , harga ekonomis dan terjangkau... sebagai bukti keseriusan kami , kami bersedia dengan layanan antar jemput , menghemat waktu dan mobilisasi anda, cukup hubungi kami dan buat kesepakatan. Kami.
Senin, 26 April 2010
Senin, 19 April 2010
ORANG YANG BENAR, BESAR DAN KUAT
Diantara para Nabi , Yesaya merupakan salah satu pilihan Allah yang dipakai luar biasa oleh Allah. Allah memberikan hikmat dan penglihatan kepada Yesaya sedemikian lengkap, termasuk nubuatan akan kelahiran , penderitaan, kematian dan kebangkitan Yesus Kristus, Hamba Allah, Anak Allah, Tuhan kita.
Maki kita simak kutipan kitab Yesaya dibawah ini :
Yesaya 53:11 Sesudah kesusahan jiwanya ia akan melihat terang dan menjadi puas; dan hamba-Ku itu, sebagai orang yang benar, akan membenarkan banyak orang oleh hikmatnya, dan kejahatan mereka dia pikul.
53:12 Sebab itu Aku akan membagikan kepadanya orang-orang besar sebagai rampasan, dan ia akan memperoleh orang-orang kuat sebagai jarahan, yaitu sebagai ganti karena ia telah menyerahkan nyawanya ke dalam maut dan karena ia terhitung di antara pemberontak-pemberontak, sekalipun ia menanggung dosa banyak orang dan berdoa untuk pemberontak-pemberontak.
Hamba yang dimaksudkan dalam Yesaya 53:11 menunjuk pada sosok Yesus sebagai Orang Yang Benar, yang telah mati di katu salib untuk menanggung dosa dan kutuk manusia. Manusia hanya bisa dibenarkan apabila percaya dan tunduk kepada perkataan Yesus, yaitu Firman itu sendiri. Orang-orang (manusia) yang percaya dan mengikuti jalan-Nya akan menjadi orang-orang yang BENAR, orang-orang yang BESAR dan menkaji orang-orang yang KUAT ( Yesaya 53:12 ).
© 4/2010 SANM
Maki kita simak kutipan kitab Yesaya dibawah ini :
Yesaya 53:11 Sesudah kesusahan jiwanya ia akan melihat terang dan menjadi puas; dan hamba-Ku itu, sebagai orang yang benar, akan membenarkan banyak orang oleh hikmatnya, dan kejahatan mereka dia pikul.
53:12 Sebab itu Aku akan membagikan kepadanya orang-orang besar sebagai rampasan, dan ia akan memperoleh orang-orang kuat sebagai jarahan, yaitu sebagai ganti karena ia telah menyerahkan nyawanya ke dalam maut dan karena ia terhitung di antara pemberontak-pemberontak, sekalipun ia menanggung dosa banyak orang dan berdoa untuk pemberontak-pemberontak.
Hamba yang dimaksudkan dalam Yesaya 53:11 menunjuk pada sosok Yesus sebagai Orang Yang Benar, yang telah mati di katu salib untuk menanggung dosa dan kutuk manusia. Manusia hanya bisa dibenarkan apabila percaya dan tunduk kepada perkataan Yesus, yaitu Firman itu sendiri. Orang-orang (manusia) yang percaya dan mengikuti jalan-Nya akan menjadi orang-orang yang BENAR, orang-orang yang BESAR dan menkaji orang-orang yang KUAT ( Yesaya 53:12 ).
© 4/2010 SANM
Selasa, 13 April 2010
RIWAYAT SANG NAUALUH - RAJA SIANTAR
Orang Simalungun teramat dikenal sangat anti kolonialime. Pernyataan ini bukan tidak beralasan, Tuan Rondahaim Saragih, Raja Kerajaan Raya, misalnya, menolak kedatangan Tengku Mohamad Nurdin seorang Raja dari Kerajaan Padang di Bulian Tebing Tinggi karena membawa buah tangan produk kolonial, gramafon; padahal keduanya merupakan saudara dekat karena Tuan Rondahaim bermarga Saragih Garingging dan Tengku Mohamad Nurdin bermarga Saragih Dasalak. Tuan Rondahaim Saragih pernah membela mati-matian akan kedudukan Tengku Mohammad Nurdin Saragih sebagai Raja Kerajaan Padang ( Tebing Tinggi ) yang saat itu akisis oleh Kerajaan Deli yang didukung oleh Kolonialisme Belanda.
Perlawanan demi perlawanan terhadap kolonilisme Belanda di SImalungun terjadi dimana-mana. Seperti perlawanan Tuan Raimbang dari Dolog Panribuan. Akhirnya Tuan Raimbang tertangkap dan dibuang ke Pulau Jawa dan tidak diketahui tempat atau makamnya hingga kini. Tuan Jontama Purba Dasuha, Raja Panei, sampai saat ini juga belum diketahui tempat atau makamnya karena protes akibat kesewenang-wenangan pemerintah kolonial kepada Asisten Residen Sumatera Timur di Medan.. Serta perlawanan rakyat Girsang Sirpangan Bolon yang menyerang pos kolonial di Parapat dan dapat dilumpuhkan pada 1906.
Lain lagi dengan Pangulu Amad alias Ahmad Rasjid Damanik (1899-1978) seorang Penghulu di Bandar Tinggi ( dekat Pematang Siantar ), merelakan harta serta perhiasan istrinya untuk perjuangan rakyat Bandar Tinggi, Sibatu-batu dan Partimbalan untuk menentang kolonialisme berkuasa. Ahmad Rasjid Damanik, begitu nama asli Pangulu Amat, mampu menyatukan Orang Simalungun dengan Puak Banjar, Rao, Melayu, Mandailing dan Jawa yang sebelumnya terpecah belah karena ulah devide et impera-nya Belanda. Ketika Belanda mengejar-ngejar Pangulu Amad untuk dibuang ke Digul, Pangulu Amat lari mengatur siasat ke Bandar Sakti Tebing Tinggi. Seorang pejuang tangan kanan Pangulu Amat bernama Buyung mengorbankan diri untuk dibuang ke Digul.
Begitu pula dengan Sang Naualuh, raja ke XIV dari Kerajaan Siantar di Simalungun dari klen Damanik. Sosok bangsawan patriotik nan sufi ini adalah putra Tuan Mapir yang bermarga Damanik dan ibunya bernama Panak Boru Gajing dari klen Saragih. Ketika Kontelir Kroesen melakukan pertemuan dengan Sang Naualuh, pada 16 September 1888, Sang Naualuh dipangku secara adat oleh bapa angginya Tuan Anggi serta didampingi Raja Hitam dan Bah Bolak. Kontelir Kroesen meminta agar Kerajaan Siantar bersedia tunduk ke bawah Pemerintahan Hindia Belanda. Namun yang terjadi, Sang Naualuh menolak tegas permintaan wakil Pemerintah Belanda, sehingga Belanda menganggap Sang Naualuh tidak menghormati undangan mereka. Padahal usia Sang Naualuh baru 17 tahun saat itu, cukup belia untuk mampu menjadi pengambil keputusan bagi orang kebanyakan. Melihat sikap Sang Naulauh yang tegas dan anti kompromis dengan penjajah, akhirnya Belanda menerbitklan Besluit No. 25 (tgl. 23 Oktober 1889) yang berisi pengakuan Sang Naualuh sebagai Raja Siantar. Besluit ini menyiratkan kehati-hatian Belanda terhadap sikap Sang Naualuh, mencari perhatian Sang Naualuh serta ingin mempermudah ruang gerak Belanda dalam kekuasaan birokrasi serta penanaman modal asing pada lahan perkebunan. Namun semua ini tidak digubris Sang Naualuh yang sangat diteladani rakyatnya ini.
Sikap patriotik Sang Naualuh tampak jelas ketika melihat prilaku Tuan Marihat. Meskipun Tuan Marihat adalah bapa angginya, namun Sang Naualuh sempat mengusir keluar dari Kerajaan Siantar karena dianggap tidak menunjukkan sikap proaktif terhadap Kerajaan Tanah Jawa yang akan diserang Belanda. Walau kemudian untuk menghindarkan masuknya politik campur tangan Belanda, pada Maret 1891 Sang Naualuh memanggil dengan arif sang bapa anggi, Tuan Marihat, untuk kembali berdamai.
SANG NAUALUH MEMELUK AGAMA ISLAM
Waktu itu belum ada agama di Simalungun. Yang ada adalah agama suku , yakni Kepercayaan Parmalim dan Sipajuh begu-begu. Pada tahun 1901, Sang Naualuh mendapat hidayah dan memeluk agama Islam. Dengan waktu yang teramat singkat, beliau mampu menguasai Ilmu Tauhid, Fiqih dan Ilmu Akhlak. Sang Naualuh mengajarkan kebersihan hati dan fisik kepada rakyatnya. Dengan kebersihan hati, firasat akan tajam. Dengan kebersihan fisik, firasat akan terejawantah. Sang Naulauh mengajarkan rakyatnya untuk mandi setiap hari dan menyikat gigi dengan teratur serta mencukur rambut. Untuk produktifitas lahan dan hasil pertanian, Sang Naualuh mengajarkan sistem lahan tetap karena sebelumnya memakai sistem lahan berpindah serta mengajarkan penanaman serempak dengan menata ulang kembali adat yang sudah ada di masyarakat Simalungun, yaitu Haroan (gotong royong) dan marsialop ari (kelompok tani).
Kemudian juga, Beliau menggiatkan pengajian Agama Islam, dengan mendirikan Makhtab di wilayah Pamatang, Perdagangan maupun Bandar Tinggi. Beliau juga mendatangkan Mualim pengajar Agama Islam dari Pagurawan dan beberapa tempat lainnya. Melihat sikap Sang Naulaluh yang terus saja membenahi pembangunan fisik dan rohani wilayah Kerajaan Siantar tanpa melibatkan campur tangan Pemerintah Hindia Belanda, berkali-kali kontelir Belanda di Batubara melayangkan surat panggilan. Bukan menghadiri panggilan Meneer Belanda itu, Sang Naualuh malah meminta Sang Meneer dan utusan untuk bertobat atau jika tidak akan diserang oleh Pasukan Inti Kerajaan Siantar.
Kontelir Belanda di Batubara sudah kehabisan cara. Kontelir mengadukan sikap yang membahayakan dari Sang Naulauh terhadap keutuhan dan harga diri Pemerintahan Hindia Belanda kepada Gubernemen. Dengan penuh kemarahan Gubernemen mengeluarkan Besluit No. 1 (tgl 24 April 1906). Besluit tersebut memaktub tentang penjatuhan kekuasaan Sang Naulauh serta membuangnya ke Pulau Bengkalis. Bersama salah seorang abdinya, Bah Bolak, Sang Naualuh ditangkap Belanda dan diasingkan. Sejak itu Kerajaan Siantar di bawah pengawasan Belanda. Belanda kemudian menobatkan putra Sang Naualuh yang masih teramat muda, Tuan Riah Kadim menjadi raja pengganti. Tuhan Riah Kadim yang masih polos itu kemudian diserahkan Belanda kepada Pendeta Zending Guillaume di Purba. Pada Tahun 1916, Tuhan Riah Kadim diubah namanya menjadi Waldemar Tuan Naga Huta dan diakui Belanda sebagai Raja.
SANG NAUALUH DI BENGKALIS
Sang Naualuh di pembuangan menempati sebidang tanah perladangan bekas milik Syahbuddin gelar Batin Senggoro dekat sungai Bengkalis. Disini ia semakin mendekatkan diri dengan Sang Khalik melalui amalan-amalan syalifussalam . Banyak penduduk tempatan yang berguru kepadanya. Konon kabar dari empunya cerita, dengan kesufiannya Sang Naulauh mampu berjalan diatas Sungai Bengkalis sambil memberi makan ikan yang ada disungai itu. Sebuah batu besar menghadap arah kiblat, merupakan tempat Sang Naualuh merafalkan wiridan untuk menuju sibghotullah.
Sang Naualuh bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Tidak sedikit bangsawan melayu dan masyarakat setempat datang untuk berguru dan berobat dengan sentuhan tangan beliau dengan izin Allah. Sang Naualuh pun digelari Datuk Botuah. Perigi tempat Sang Naualuh berwudhu, sering diambil airnya oleh penduduk untuk washilah kesembuhan dan penjemput semangat. Bahkan Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin ibni Sultan Kasyim Awal pernah meminta petunjuk kepadanya.
Walaupun di negeri pembuangan, Sang Naualuh tetap mengirim kabar kepada rakyat di Kerajaan Siantar untuk membangkitkan semangat juang Habonaron do bona yaitu kebenaran sebagai cikal dari segalanya. Pada tahun 1913 ketika kerabat beliau berkunjung, dibelakang sebuah photo yang diberikan, beliau menulis dalam bahasa dan aksara Simalungun. Tulisan itu kira-kira bermakna: “Orang tua kami, bersatulah di dunia selama hidup demi keutuhan bangsa. Saya diperantauan”. Pada tahun 1914, Sang Naualuh mangkat dan dikebumikan disebuah tanah wakaf di Jl. Bantam Bengkalis. Beliau pergi dengan meninggalkan bekas kesufiannya, Sapangambei Manoktok Hitei, seiring seirama menggapai tujuan. (M Muhar Omtatok)
Pada pusara Sang Naualuh di Bengkalis tertulis: “Makam Raja Batak beragama Islam”. (Erond L. Damanik, M.Si)
Perlawanan demi perlawanan terhadap kolonilisme Belanda di SImalungun terjadi dimana-mana. Seperti perlawanan Tuan Raimbang dari Dolog Panribuan. Akhirnya Tuan Raimbang tertangkap dan dibuang ke Pulau Jawa dan tidak diketahui tempat atau makamnya hingga kini. Tuan Jontama Purba Dasuha, Raja Panei, sampai saat ini juga belum diketahui tempat atau makamnya karena protes akibat kesewenang-wenangan pemerintah kolonial kepada Asisten Residen Sumatera Timur di Medan.. Serta perlawanan rakyat Girsang Sirpangan Bolon yang menyerang pos kolonial di Parapat dan dapat dilumpuhkan pada 1906.
Lain lagi dengan Pangulu Amad alias Ahmad Rasjid Damanik (1899-1978) seorang Penghulu di Bandar Tinggi ( dekat Pematang Siantar ), merelakan harta serta perhiasan istrinya untuk perjuangan rakyat Bandar Tinggi, Sibatu-batu dan Partimbalan untuk menentang kolonialisme berkuasa. Ahmad Rasjid Damanik, begitu nama asli Pangulu Amat, mampu menyatukan Orang Simalungun dengan Puak Banjar, Rao, Melayu, Mandailing dan Jawa yang sebelumnya terpecah belah karena ulah devide et impera-nya Belanda. Ketika Belanda mengejar-ngejar Pangulu Amad untuk dibuang ke Digul, Pangulu Amat lari mengatur siasat ke Bandar Sakti Tebing Tinggi. Seorang pejuang tangan kanan Pangulu Amat bernama Buyung mengorbankan diri untuk dibuang ke Digul.
Begitu pula dengan Sang Naualuh, raja ke XIV dari Kerajaan Siantar di Simalungun dari klen Damanik. Sosok bangsawan patriotik nan sufi ini adalah putra Tuan Mapir yang bermarga Damanik dan ibunya bernama Panak Boru Gajing dari klen Saragih. Ketika Kontelir Kroesen melakukan pertemuan dengan Sang Naualuh, pada 16 September 1888, Sang Naualuh dipangku secara adat oleh bapa angginya Tuan Anggi serta didampingi Raja Hitam dan Bah Bolak. Kontelir Kroesen meminta agar Kerajaan Siantar bersedia tunduk ke bawah Pemerintahan Hindia Belanda. Namun yang terjadi, Sang Naualuh menolak tegas permintaan wakil Pemerintah Belanda, sehingga Belanda menganggap Sang Naualuh tidak menghormati undangan mereka. Padahal usia Sang Naualuh baru 17 tahun saat itu, cukup belia untuk mampu menjadi pengambil keputusan bagi orang kebanyakan. Melihat sikap Sang Naulauh yang tegas dan anti kompromis dengan penjajah, akhirnya Belanda menerbitklan Besluit No. 25 (tgl. 23 Oktober 1889) yang berisi pengakuan Sang Naualuh sebagai Raja Siantar. Besluit ini menyiratkan kehati-hatian Belanda terhadap sikap Sang Naualuh, mencari perhatian Sang Naualuh serta ingin mempermudah ruang gerak Belanda dalam kekuasaan birokrasi serta penanaman modal asing pada lahan perkebunan. Namun semua ini tidak digubris Sang Naualuh yang sangat diteladani rakyatnya ini.
Sikap patriotik Sang Naualuh tampak jelas ketika melihat prilaku Tuan Marihat. Meskipun Tuan Marihat adalah bapa angginya, namun Sang Naualuh sempat mengusir keluar dari Kerajaan Siantar karena dianggap tidak menunjukkan sikap proaktif terhadap Kerajaan Tanah Jawa yang akan diserang Belanda. Walau kemudian untuk menghindarkan masuknya politik campur tangan Belanda, pada Maret 1891 Sang Naualuh memanggil dengan arif sang bapa anggi, Tuan Marihat, untuk kembali berdamai.
SANG NAUALUH MEMELUK AGAMA ISLAM
Waktu itu belum ada agama di Simalungun. Yang ada adalah agama suku , yakni Kepercayaan Parmalim dan Sipajuh begu-begu. Pada tahun 1901, Sang Naualuh mendapat hidayah dan memeluk agama Islam. Dengan waktu yang teramat singkat, beliau mampu menguasai Ilmu Tauhid, Fiqih dan Ilmu Akhlak. Sang Naualuh mengajarkan kebersihan hati dan fisik kepada rakyatnya. Dengan kebersihan hati, firasat akan tajam. Dengan kebersihan fisik, firasat akan terejawantah. Sang Naulauh mengajarkan rakyatnya untuk mandi setiap hari dan menyikat gigi dengan teratur serta mencukur rambut. Untuk produktifitas lahan dan hasil pertanian, Sang Naualuh mengajarkan sistem lahan tetap karena sebelumnya memakai sistem lahan berpindah serta mengajarkan penanaman serempak dengan menata ulang kembali adat yang sudah ada di masyarakat Simalungun, yaitu Haroan (gotong royong) dan marsialop ari (kelompok tani).
Kemudian juga, Beliau menggiatkan pengajian Agama Islam, dengan mendirikan Makhtab di wilayah Pamatang, Perdagangan maupun Bandar Tinggi. Beliau juga mendatangkan Mualim pengajar Agama Islam dari Pagurawan dan beberapa tempat lainnya. Melihat sikap Sang Naulaluh yang terus saja membenahi pembangunan fisik dan rohani wilayah Kerajaan Siantar tanpa melibatkan campur tangan Pemerintah Hindia Belanda, berkali-kali kontelir Belanda di Batubara melayangkan surat panggilan. Bukan menghadiri panggilan Meneer Belanda itu, Sang Naualuh malah meminta Sang Meneer dan utusan untuk bertobat atau jika tidak akan diserang oleh Pasukan Inti Kerajaan Siantar.
Kontelir Belanda di Batubara sudah kehabisan cara. Kontelir mengadukan sikap yang membahayakan dari Sang Naulauh terhadap keutuhan dan harga diri Pemerintahan Hindia Belanda kepada Gubernemen. Dengan penuh kemarahan Gubernemen mengeluarkan Besluit No. 1 (tgl 24 April 1906). Besluit tersebut memaktub tentang penjatuhan kekuasaan Sang Naulauh serta membuangnya ke Pulau Bengkalis. Bersama salah seorang abdinya, Bah Bolak, Sang Naualuh ditangkap Belanda dan diasingkan. Sejak itu Kerajaan Siantar di bawah pengawasan Belanda. Belanda kemudian menobatkan putra Sang Naualuh yang masih teramat muda, Tuan Riah Kadim menjadi raja pengganti. Tuhan Riah Kadim yang masih polos itu kemudian diserahkan Belanda kepada Pendeta Zending Guillaume di Purba. Pada Tahun 1916, Tuhan Riah Kadim diubah namanya menjadi Waldemar Tuan Naga Huta dan diakui Belanda sebagai Raja.
SANG NAUALUH DI BENGKALIS
Sang Naualuh di pembuangan menempati sebidang tanah perladangan bekas milik Syahbuddin gelar Batin Senggoro dekat sungai Bengkalis. Disini ia semakin mendekatkan diri dengan Sang Khalik melalui amalan-amalan syalifussalam . Banyak penduduk tempatan yang berguru kepadanya. Konon kabar dari empunya cerita, dengan kesufiannya Sang Naulauh mampu berjalan diatas Sungai Bengkalis sambil memberi makan ikan yang ada disungai itu. Sebuah batu besar menghadap arah kiblat, merupakan tempat Sang Naualuh merafalkan wiridan untuk menuju sibghotullah.
Sang Naualuh bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Tidak sedikit bangsawan melayu dan masyarakat setempat datang untuk berguru dan berobat dengan sentuhan tangan beliau dengan izin Allah. Sang Naualuh pun digelari Datuk Botuah. Perigi tempat Sang Naualuh berwudhu, sering diambil airnya oleh penduduk untuk washilah kesembuhan dan penjemput semangat. Bahkan Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin ibni Sultan Kasyim Awal pernah meminta petunjuk kepadanya.
Walaupun di negeri pembuangan, Sang Naualuh tetap mengirim kabar kepada rakyat di Kerajaan Siantar untuk membangkitkan semangat juang Habonaron do bona yaitu kebenaran sebagai cikal dari segalanya. Pada tahun 1913 ketika kerabat beliau berkunjung, dibelakang sebuah photo yang diberikan, beliau menulis dalam bahasa dan aksara Simalungun. Tulisan itu kira-kira bermakna: “Orang tua kami, bersatulah di dunia selama hidup demi keutuhan bangsa. Saya diperantauan”. Pada tahun 1914, Sang Naualuh mangkat dan dikebumikan disebuah tanah wakaf di Jl. Bantam Bengkalis. Beliau pergi dengan meninggalkan bekas kesufiannya, Sapangambei Manoktok Hitei, seiring seirama menggapai tujuan. (M Muhar Omtatok)
Pada pusara Sang Naualuh di Bengkalis tertulis: “Makam Raja Batak beragama Islam”. (Erond L. Damanik, M.Si)
SEJARAH SIMALUNGUN
Dari sumber-sumber kuno dan cerita-cerita rakyat di Simalungun, orang yang kemudian menjadi suku Simalungun adalah keturunan keturunan dari berragam nenek moyang. Dalam perjalanan sejarahnya, suku Simalungun datang dalam dua gelombang. Gelombang pertama (Proto Simalungun) diperkirakan datang dari India Selatan (Nagore) dan India Timur (Pegunungan Assam) sekitar abad ke-5 menyusuri Birma terus ke Siam dan Melaka selanjutnya menyebrang ke Sumatera Timur dan mendirikan Kerajaan Nagur dari Raja dinasti Damanik. Dan kemudian gelombang kedua (Deutro Simalungun) yang merupakan pembaruan suku-suku tetangga dengan suku Simalungun asli (Herman Purba Tambak, SIB 3/9/2006, hlm. 9).
Selanjutnya panglima-panglima (Raja Goraha) Kerajaan Nagur bermarga Saragih, Sinaga dan Purba dijadikan menantu oleh Raja Nagur dan kelak mendirikan kerajaan-kerajaan : Silou (Purba Tambak), Tanoh Djawa (Sinaga), Raya (Saragih). Kerajaan-kerajaan ini pada abad XIII-XV mengalami serangan-serangan dari tentara Singasari, Majapahit, Rajendra Chola dari India dan terakhir Aceh, sultan-sultan Melayu dan Belanda. Terkenal dalam cerita-cerita rakyat Simalungun akan ”hattu ni sappar” yang melukiskan situasi mengerikan di Simalungun akibat peperangan itu, mayat-mayat bergelimpangan, kericuhan sehingga mengakibatkan wabah penyakit kolera. Para Raja dan rakyat mengungsi ke seberang Laut Tawar (obat penawar Sappar) sampai ke sebuah pulau yang kemudian dinamai “Samosir” ( Sahali misir). Sementara itu, para budak (Hatoban) Kerajaan turut menyelamatkan diri. Ada menyebutkan bahwa dari komunitas Hatoban ini sebagai asal suku Toba.
Selanjutnya panglima-panglima (Raja Goraha) Kerajaan Nagur bermarga Saragih, Sinaga dan Purba dijadikan menantu oleh Raja Nagur dan kelak mendirikan kerajaan-kerajaan : Silou (Purba Tambak), Tanoh Djawa (Sinaga), Raya (Saragih). Kerajaan-kerajaan ini pada abad XIII-XV mengalami serangan-serangan dari tentara Singasari, Majapahit, Rajendra Chola dari India dan terakhir Aceh, sultan-sultan Melayu dan Belanda. Terkenal dalam cerita-cerita rakyat Simalungun akan ”hattu ni sappar” yang melukiskan situasi mengerikan di Simalungun akibat peperangan itu, mayat-mayat bergelimpangan, kericuhan sehingga mengakibatkan wabah penyakit kolera. Para Raja dan rakyat mengungsi ke seberang Laut Tawar (obat penawar Sappar) sampai ke sebuah pulau yang kemudian dinamai “Samosir” ( Sahali misir). Sementara itu, para budak (Hatoban) Kerajaan turut menyelamatkan diri. Ada menyebutkan bahwa dari komunitas Hatoban ini sebagai asal suku Toba.
Kelak keturunan mereka yang berdiam di Samosir kembali lagi ke kampung halamannya (huta hasusuran) di Nagur dan dilihatlah daerah itu sudah ditinggalkan orang karena mengungsi, sepi dan yang tersisa hanya peninggalan rakyat Nagur, sehingga dinamakanlah daerah Nagur itu “sima-sima ni nalungun” dan lama kelamaan menjadi Simalungun (daerah yang sunyi sepi) (M.D Purba, 1997).
Adanya imigrasi dari suku-suku tetangga khususnya dari Samosir, Silalahi, Karo, dan Pakpak menyebabkan adanya timbul marga baru di Simalungun, seperti: marga Sidauruk, Sidabalok, Siadari, Simarmata, Simanihuruk, Sidabutar, Munthe, Sijabat yang berafiliasi dengan marga Saragih, Manorsa, Simamora, Sigulang Batu, Parhorbo, Sitorus dan Pantomhobon yang berafiliasi dengan marga Purba, Malau, Limbong, Sagala, Gurning, Manikraja yang berafiliasi dengan marga Damanik, Sipayung, Sihaloho, Sinurat, Sitopu yang berafiliasi dengan marga Sinaga (tetapi sejak Revolusi Sosial sudah kembali ke marga asalnya). Selain itu masih ada marga Lingga, Manurung, Butar-butar, Sirait di Simalungun timur dan barat.
Demikianlah sampai zaman modern ini “warna-warni” suku Simalungun ini menyebabkan budaya suku Simalungun menjadi jamak dan bahkan nyaris “hilang” karena terlalu terbukanya dengan para pendatang. Belum lagi dengan suku Simalungun yang masuk Islam sejak abad XV di Asahan dan Deli serta Serdang mengaku dirinya Melayu dan menghilangkan identitasnya sebagai suku Simalungun.
Dahulu kala menurut Tuan Taralamsyah Saragih (surat pribadi,1963), orang Simalungun asli itu merupakan keturunan dari empat raja-raja besar yang berasal dari Siam dan India dengan rakyatnya masuk ke Sumatera Timur terus ke Aceh, Langkat dan daerah Bangun Purba dan Bandar Kalifah sampai Batubara. Akibat desakan orang “Djau”, berangsur-angsur mereka mencapai pinggiran Danau Toba sampai ke Samosir. Adapun keempat marga-marga Simalungun yang empat populer dengan nama SISADAPUR (Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba) berasal dari “harungguan bolon” (permusyawaratan besar) raja-raja yang empat itu agar jangan saling menyerang, bermusuhan dan “marsiurupan bani hasunsahan na legan, rup mangimbang munssuh.” Keempat raja itu adalah:
Adanya imigrasi dari suku-suku tetangga khususnya dari Samosir, Silalahi, Karo, dan Pakpak menyebabkan adanya timbul marga baru di Simalungun, seperti: marga Sidauruk, Sidabalok, Siadari, Simarmata, Simanihuruk, Sidabutar, Munthe, Sijabat yang berafiliasi dengan marga Saragih, Manorsa, Simamora, Sigulang Batu, Parhorbo, Sitorus dan Pantomhobon yang berafiliasi dengan marga Purba, Malau, Limbong, Sagala, Gurning, Manikraja yang berafiliasi dengan marga Damanik, Sipayung, Sihaloho, Sinurat, Sitopu yang berafiliasi dengan marga Sinaga (tetapi sejak Revolusi Sosial sudah kembali ke marga asalnya). Selain itu masih ada marga Lingga, Manurung, Butar-butar, Sirait di Simalungun timur dan barat.
Demikianlah sampai zaman modern ini “warna-warni” suku Simalungun ini menyebabkan budaya suku Simalungun menjadi jamak dan bahkan nyaris “hilang” karena terlalu terbukanya dengan para pendatang. Belum lagi dengan suku Simalungun yang masuk Islam sejak abad XV di Asahan dan Deli serta Serdang mengaku dirinya Melayu dan menghilangkan identitasnya sebagai suku Simalungun.
Dahulu kala menurut Tuan Taralamsyah Saragih (surat pribadi,1963), orang Simalungun asli itu merupakan keturunan dari empat raja-raja besar yang berasal dari Siam dan India dengan rakyatnya masuk ke Sumatera Timur terus ke Aceh, Langkat dan daerah Bangun Purba dan Bandar Kalifah sampai Batubara. Akibat desakan orang “Djau”, berangsur-angsur mereka mencapai pinggiran Danau Toba sampai ke Samosir. Adapun keempat marga-marga Simalungun yang empat populer dengan nama SISADAPUR (Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba) berasal dari “harungguan bolon” (permusyawaratan besar) raja-raja yang empat itu agar jangan saling menyerang, bermusuhan dan “marsiurupan bani hasunsahan na legan, rup mangimbang munssuh.” Keempat raja itu adalah:
RAJA NAGUR
Marga Damanik = Simada Manik, Simalungun: “Manik” = tonduy,sumangat, tunggung, (yang bersemangat, berkharisma, agung) halanigan, tercerdas Raja Nagur on marimbang raja na legan janah bahatan balani. Mereka ini berasal dari kaum bangsawan India Selatan dari Kerajaan Nagore. Keturunan Raja Nagur ini pada abad ke-12 terbagi menjadi tiga bagian menurut keturunan ketiga putera raja Nagur yang mengungsi dari Pamatang Nagur di Pulau Pandan akibat serangan Raja Rajendra Chola dari India, yaitu : Marah Silau (yang menurunkan Raja Manik Hasian, Raja Jumorlang, Raja Sipolha, Raja Siantar, Tuan Raja Sidamanik dan Tuan Raja Bandar), Soro Tilu (yang menurunkan marga raja Nagur di sekitar gunung Simbolon: Damanik Nagur, Bayu, Hajangan, Rih, Malayu, Rappogos, Usang, Rih, Simaringga, Sarasan, Sola), Timo Raya (yang menurunkan raja Bornou, Raja Ula dan keturunannya Damanik Tomok). Kemudian datang marga keturunan Silau Raja, Ambarita Raja, Gurning Raja, Malau Raja, Limbong, Manik Raja mengaku Damanik di Simalungun yang berasal dari Pulau Samosir.
RAJA BANUA SOBOU
Saragih: Simalungun : Simada Ragih; Ragih = atur, susun, tata (pemilik aturan, pengatur, pemegang undang-undang, penyusun). Keturunannya adalah Saragih Garingging yang pernah merantau ke Ajinembah dan kembali ke Raya, Saragih Sumbayak keturunan Tuan Raya Tongah, Pamajuhi, dan Bona ni Gonrang. Pada zaman Tuan Rondahaim, marga Turnip, Sidauruk, Simarmata, Sitanggang, Munthe, Sijabat, Sidabalok, Sidabukke, Simanihuruk mengaku dirinya Saragih di Simalungun. Jelaslah bahwa hanya dua keturunan Raja Banua Sobou yakni : Sumbayak dan Garingging. Garingging kemudian pecah lagi menjadi Dasalak dan Dajawak. Dasalak menjadi raja di Padang Badagei, dan Dajawak merantau ke Rakutbesi dan Tanah Karo dengan Marga Ginting Jawak. Sedangkan Pardalan Tapian adalah berasal marga dari Samosir.
RAJA BANUA PURBA
Marga Damanik = Simada Manik, Simalungun: “Manik” = tonduy,sumangat, tunggung, (yang bersemangat, berkharisma, agung) halanigan, tercerdas Raja Nagur on marimbang raja na legan janah bahatan balani. Mereka ini berasal dari kaum bangsawan India Selatan dari Kerajaan Nagore. Keturunan Raja Nagur ini pada abad ke-12 terbagi menjadi tiga bagian menurut keturunan ketiga putera raja Nagur yang mengungsi dari Pamatang Nagur di Pulau Pandan akibat serangan Raja Rajendra Chola dari India, yaitu : Marah Silau (yang menurunkan Raja Manik Hasian, Raja Jumorlang, Raja Sipolha, Raja Siantar, Tuan Raja Sidamanik dan Tuan Raja Bandar), Soro Tilu (yang menurunkan marga raja Nagur di sekitar gunung Simbolon: Damanik Nagur, Bayu, Hajangan, Rih, Malayu, Rappogos, Usang, Rih, Simaringga, Sarasan, Sola), Timo Raya (yang menurunkan raja Bornou, Raja Ula dan keturunannya Damanik Tomok). Kemudian datang marga keturunan Silau Raja, Ambarita Raja, Gurning Raja, Malau Raja, Limbong, Manik Raja mengaku Damanik di Simalungun yang berasal dari Pulau Samosir.
RAJA BANUA SOBOU
Saragih: Simalungun : Simada Ragih; Ragih = atur, susun, tata (pemilik aturan, pengatur, pemegang undang-undang, penyusun). Keturunannya adalah Saragih Garingging yang pernah merantau ke Ajinembah dan kembali ke Raya, Saragih Sumbayak keturunan Tuan Raya Tongah, Pamajuhi, dan Bona ni Gonrang. Pada zaman Tuan Rondahaim, marga Turnip, Sidauruk, Simarmata, Sitanggang, Munthe, Sijabat, Sidabalok, Sidabukke, Simanihuruk mengaku dirinya Saragih di Simalungun. Jelaslah bahwa hanya dua keturunan Raja Banua Sobou yakni : Sumbayak dan Garingging. Garingging kemudian pecah lagi menjadi Dasalak dan Dajawak. Dasalak menjadi raja di Padang Badagei, dan Dajawak merantau ke Rakutbesi dan Tanah Karo dengan Marga Ginting Jawak. Sedangkan Pardalan Tapian adalah berasal marga dari Samosir.
RAJA BANUA PURBA
Purba adalah bahasa Sansekerta “purwa” artinya timur, gelagat masa datang, pengatur, pemegang undang-undang, tenungan pengetahuan, cendikiawan/sarjana. Keturunannya adalah :Tambak, Sigumonrong, Tua, Sidasuha (Sidadolog, Sidagambir). Kemudian ada lagi Purba Siborom Tanjung, Pakpak, Girsang, Tondang, Sihala, Raya. Pada abad ke-18 datang marga Simamora dari Bakkara melalui Samosir ke Haranggaol dan mengaku dirinya Purba, merekalah yang menurunkan marga Purba Manorsa yang tinggal di Tangga Batu dan Purbasaribu.
RAJA SANIANG NAGA ALIAS TANDUK BANUA
RAJA SANIANG NAGA ALIAS TANDUK BANUA
Raja Saniang Naga bermarga Sinaga atau Tanduk Banua (terletak di perbatasan Simalungun dengan tanah Karo). Marga Sinaga = Simada Naga adalah marga asli Simalungun. Naga dikenal juga dengan mitologi dewa yang penjaga bumi yang menyebabkan gempa dan tanah longsor. Keturunannya adalah marga Sinaga di Kerajaan Tanah Jawa, Batangiou di Asahan.
Tuan Girsang Sipangan Bolon adalah anakboru Raya pada zaman kerajaan-kerajaan Simalungun. Pada abad ke XIV saat serangan Majapahit, pasukan dari Jambi dipimpin Panglima Bungkuk dengan pasukannya melarikan diri ke Kerajaan Batangiou dan mengaku dirinya Sinaga, dan menurut Taralamsyah Saragih nenek moyang mereka ini kemudian menjadi raja Tanoh Djawa dengan marga Sinaga Dadihoyong setelah mengalahkan Tuan Raya Si Tonggang marga Sinaga dari kerajaan Batangiou dalam adu sumpah (sibijaon) (Tideman, 1922).
Sementara Tuan Gindo Sinaga keturunan Tuan Djorlang Hataran mengaku Sinaga keturunan raja Tanoh Djawa berasal dari India. Beberapa keluarga besar Partongah Raja Tanoh Djawa menghubungkannya dengan daerah Naga Land (Tanah Naga) di India Timur yang berbatasan dengan Birma yang memang memiliki banyak Similaritas dengan adat kebiasaan, postur wajah dan anatomi tubuh serta bahasa dengan suku Simalungun dan Batak lainnya.
Orang Simalungun tidak terlalu mementingkan soal “silsilah” karena penentu partuturan di Simalungun adalah “hasusuran” (tempat asal nenek moyang) dan tibalni parhundul dalam horja-horja adat. Dahulu kalau orang Simalungun bertemu, bukan langsung bertanya “aha marga ni ham?” tetapi “hunja do hasusuran ni ham?” seperti pepatah Simalungun “Sin Raya, sini Purba, sin Dolog, sini Panei. Na ija pe lang na mubah, asal ma marholong ni atei.” Kenapa? Karena seluruh marga raja-raja Simalungun itu diikat oleh persekutuan adat yang erat oleh karena konsep perkawinan antara raja dengan “puang bolon” (permaisuri) yang adalah puteri raja tetangganya. Seperti raja Tanoh Djawa dengan puang bolon dari Kerajaan Siantar (Damanik), raja Siantar yang puang bolonnya dari Partuanan Silappuyang, raja Panei dari putri raja Siantar, raja Silau dari putri raja Raya, raja Purba dari putri raja Siantar dan Silimakuta dari putri raja Raya atau Tongging.
Zaman raja-raja Simalungun, orang yang tidak jelas garis keturunannya dari raja-raja disebut “jolma tuhe-tuhe” atau “silawar” (pendatang). Zaman dahulu mereka ini akibat hukum marga yang keras di Simalungun menyatukan dirinya dengan marga raja-raja agar mendapat hak hidup di Simalungun.
Demikianlah sehingga makin bertambah banyak marga di Simalungun. Tetapi meski demikian sejak dahulu hanya ada empat marga pokok di Simalungun yakni Sisadapur : Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba. Setelah raja-raja dikuasai Belanda sejak ditandatanganinya Korte Verklaring (Perjanjian Pendek) tahun 1907 dan dihapuskannya kerajaan/feodalisme dalam aksi Revolusi Sosial tanggal 3 Maret 1946 sampai April 1947, peraturan tentang marga itu hapus di Simalungun. Masing-masing marga kembali lagi ke marga aslinya dan ke sukunya semula.
Jadi salah satu cara untuk mempertahankan identitas Simalungun adalah dengan mengetahui garis keturunan orang Simalungun itu sendiri dan berbudaya, beradat, berbahasa Simalungun agar tidak larut dengan etnis lain yang memiliki kemiripan marga, budaya, bahasa dan adat-istiadat.
Tuan Girsang Sipangan Bolon adalah anakboru Raya pada zaman kerajaan-kerajaan Simalungun. Pada abad ke XIV saat serangan Majapahit, pasukan dari Jambi dipimpin Panglima Bungkuk dengan pasukannya melarikan diri ke Kerajaan Batangiou dan mengaku dirinya Sinaga, dan menurut Taralamsyah Saragih nenek moyang mereka ini kemudian menjadi raja Tanoh Djawa dengan marga Sinaga Dadihoyong setelah mengalahkan Tuan Raya Si Tonggang marga Sinaga dari kerajaan Batangiou dalam adu sumpah (sibijaon) (Tideman, 1922).
Sementara Tuan Gindo Sinaga keturunan Tuan Djorlang Hataran mengaku Sinaga keturunan raja Tanoh Djawa berasal dari India. Beberapa keluarga besar Partongah Raja Tanoh Djawa menghubungkannya dengan daerah Naga Land (Tanah Naga) di India Timur yang berbatasan dengan Birma yang memang memiliki banyak Similaritas dengan adat kebiasaan, postur wajah dan anatomi tubuh serta bahasa dengan suku Simalungun dan Batak lainnya.
Orang Simalungun tidak terlalu mementingkan soal “silsilah” karena penentu partuturan di Simalungun adalah “hasusuran” (tempat asal nenek moyang) dan tibalni parhundul dalam horja-horja adat. Dahulu kalau orang Simalungun bertemu, bukan langsung bertanya “aha marga ni ham?” tetapi “hunja do hasusuran ni ham?” seperti pepatah Simalungun “Sin Raya, sini Purba, sin Dolog, sini Panei. Na ija pe lang na mubah, asal ma marholong ni atei.” Kenapa? Karena seluruh marga raja-raja Simalungun itu diikat oleh persekutuan adat yang erat oleh karena konsep perkawinan antara raja dengan “puang bolon” (permaisuri) yang adalah puteri raja tetangganya. Seperti raja Tanoh Djawa dengan puang bolon dari Kerajaan Siantar (Damanik), raja Siantar yang puang bolonnya dari Partuanan Silappuyang, raja Panei dari putri raja Siantar, raja Silau dari putri raja Raya, raja Purba dari putri raja Siantar dan Silimakuta dari putri raja Raya atau Tongging.
Zaman raja-raja Simalungun, orang yang tidak jelas garis keturunannya dari raja-raja disebut “jolma tuhe-tuhe” atau “silawar” (pendatang). Zaman dahulu mereka ini akibat hukum marga yang keras di Simalungun menyatukan dirinya dengan marga raja-raja agar mendapat hak hidup di Simalungun.
Demikianlah sehingga makin bertambah banyak marga di Simalungun. Tetapi meski demikian sejak dahulu hanya ada empat marga pokok di Simalungun yakni Sisadapur : Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba. Setelah raja-raja dikuasai Belanda sejak ditandatanganinya Korte Verklaring (Perjanjian Pendek) tahun 1907 dan dihapuskannya kerajaan/feodalisme dalam aksi Revolusi Sosial tanggal 3 Maret 1946 sampai April 1947, peraturan tentang marga itu hapus di Simalungun. Masing-masing marga kembali lagi ke marga aslinya dan ke sukunya semula.
Jadi salah satu cara untuk mempertahankan identitas Simalungun adalah dengan mengetahui garis keturunan orang Simalungun itu sendiri dan berbudaya, beradat, berbahasa Simalungun agar tidak larut dengan etnis lain yang memiliki kemiripan marga, budaya, bahasa dan adat-istiadat.
2000 MANUSCRIPT BATAK DI BELANDA
Dikatakannya 2000-an naskah budaya Batak kini disimpan rapi Belanda dan Jerman serta sekitar 1.000 naskah dalam bentuk lak-lak (kulit kayu) dan sisanya dalam bentuk bambu atau tulang. Ia tidak tahu naskah tersebut dari abad atau tahun berapa karena penulisnya tidak mencantumkan tanggal. Hanya saja ia tahu manuscrpt tersebut dibawa ke Belanda atau Jerman, sekitar tahun 1700-an. Uli Kozok yang fasih berbahasa Batak dan berbahasa Indonesia menambahkan, dari ribuan naskah Batak tersebut, baru 2 yang dapat diakses melalui internet oleh masyarakat Sumut karena telah diolah dalam bentuk digital, dua naskah tersebut berasal dari Bremen dan Biloit di Belanda.
Dari dua naskah yang telah ia olah dalam bentuk digital tersebut banyak dimanfaatkan masyarakat, khususnya mahasiswa untuk mencari informasi. Naskah Batak juga dianggap lebih aman dan terjamin keberadaan dan pelestariannya jika berada di luar negeri dibandingkan dengan Indonesia karena kalau di luar negeri peluang untuk diperjualbelikan atau disalahgunakan pihak-pihak tertentu jauh lebih kecil dibandingkan dengan di Indonesia. Sebaliknya di Indonesia banyak benda budaya yang seharusnya dijaga, tapi malah dijual.
Naskah Batak paling banyak berada di Tropen Museum Amsterdam, Univercitei Fsbiblio Fheek Leiden (Perpustakaan Universitas Leiden), dan Museum Antropologi Leiden.
Dari dua naskah yang telah ia olah dalam bentuk digital tersebut banyak dimanfaatkan masyarakat, khususnya mahasiswa untuk mencari informasi. Naskah Batak juga dianggap lebih aman dan terjamin keberadaan dan pelestariannya jika berada di luar negeri dibandingkan dengan Indonesia karena kalau di luar negeri peluang untuk diperjualbelikan atau disalahgunakan pihak-pihak tertentu jauh lebih kecil dibandingkan dengan di Indonesia. Sebaliknya di Indonesia banyak benda budaya yang seharusnya dijaga, tapi malah dijual.
Naskah Batak paling banyak berada di Tropen Museum Amsterdam, Univercitei Fsbiblio Fheek Leiden (Perpustakaan Universitas Leiden), dan Museum Antropologi Leiden.
MANUSCRIPT KERAJAAN BATTA ( BATAK )
Erond L. Damanik, M.Si : Manuscript yang ada dan meriwayatkan tentang kerajaan Nagur adalah Parpadanan Na Bolag (PNB). Namun demikian, manuskrip itu membutuhkan analisis tajam serta kehati-hatian yang tinggi karena banyak menyebut nama person, peristiwa dan daerah yang kini tidak dapat di compare dengan peta yang ada. Misalnya, dimanakah Padang Rapuhan, atau dimanakah Hararasan, atau Bondailing?. Oleh sebab itu, terhadap manuskrip tersebut mutlak dilakukan Discourse Analysis, sehingga dapat memunculkan makna yang terkandung dalam teks atau naskah.
Literatur Simalungun yang mencoba menyajikan tentang Nagur adalah Hukum Adat Simalungun (Djahutar Damanik, 1984) atau Sejarah Simalungun (TBA Tambak, 1976) tidak banyak mengupas tentang manuskrip dan keberadaan Nagur, namun cenderung menuliskannya berdasarkan oral tradition version. Demikian pula pada buku Pustaha Simalungun yang tersimpan di Perpustakaan Daerah Sumut yakni hasil transliterasi latin oleh JE. Saragih, masih terbatas pada tradisi pengobatan yang ada di Simalungun, tak satupun dalam pustaha tersebut merujuk pada nama ‘Nagur’.
Persoalan lainnya adalah, bahwa riwayat kerajaan Nagur (Nakkureh, Nakkur, Japur) banyak disebut dalam laporan pengelana Eropa dan Tiongkok, namun dimanakah letak daripada kerajaan tersebut masih membutuhkan analisis panjang yang melibatkan Arkeolog dan Sejarawan. Dengan demikian, riwayat kerajaan Nagur dinasti Damanik di Simalungun tersebut masih memerlukan penelitian dan pengkajian secara menyeluruh (komprehensif) terutama dengan melibatkan arkeolog dan sejarawan serta antropolog sehingga riwayat kerajaan besar tersebut semakin sempurna dan berlandaskan perspektif ilmiah. Lagipula, penelitian dan kajian ilmiah, mutlak dilakukan untuk mendukung sejarah lisan yang berkembang dalam masyarakat.
Berdasarkan persepsi literer (kepustakaan) tersebut diatas, diyakini bahwa kerajaan Nagur pernah eksis di Sumatra Timur tepatnya di Simalungun. Paling tidak hal tersebut dibuktikan dengan adanya catatan-catatan dari pengelana asing yang singgah di Sumatra Timur dari abad ke-6 hingga ke 16. Demikian pula tersedianya manuskrip yang meriwayatkan kerajaan tersebut, ataupun dikenalnya kerajaan tersebut melalui tradisi lisan. Namun demikian, untuk memperjelas eksisitensi kerajaan tersebut, baiknya dilakukan penelitian dan pengkajian yang melibatkan lintas disiplin sehingga dapat diterima kebenarannya. Paling tidak, saran ini bermanfaat atau ditujukan kepada pemerintah kabupaten Simalungun di Pematang Raya, ataupun pihak-pihak, badan atau instansi yang berwenang, demikian pula lembaga kemasyarakatan Simalungun yang ada.
Penulis: Erond L. Damanik, M.Si
Peneliti pada Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial
Lembaga Penelitian Universitas Negeri Medan.
Literatur Simalungun yang mencoba menyajikan tentang Nagur adalah Hukum Adat Simalungun (Djahutar Damanik, 1984) atau Sejarah Simalungun (TBA Tambak, 1976) tidak banyak mengupas tentang manuskrip dan keberadaan Nagur, namun cenderung menuliskannya berdasarkan oral tradition version. Demikian pula pada buku Pustaha Simalungun yang tersimpan di Perpustakaan Daerah Sumut yakni hasil transliterasi latin oleh JE. Saragih, masih terbatas pada tradisi pengobatan yang ada di Simalungun, tak satupun dalam pustaha tersebut merujuk pada nama ‘Nagur’.
Persoalan lainnya adalah, bahwa riwayat kerajaan Nagur (Nakkureh, Nakkur, Japur) banyak disebut dalam laporan pengelana Eropa dan Tiongkok, namun dimanakah letak daripada kerajaan tersebut masih membutuhkan analisis panjang yang melibatkan Arkeolog dan Sejarawan. Dengan demikian, riwayat kerajaan Nagur dinasti Damanik di Simalungun tersebut masih memerlukan penelitian dan pengkajian secara menyeluruh (komprehensif) terutama dengan melibatkan arkeolog dan sejarawan serta antropolog sehingga riwayat kerajaan besar tersebut semakin sempurna dan berlandaskan perspektif ilmiah. Lagipula, penelitian dan kajian ilmiah, mutlak dilakukan untuk mendukung sejarah lisan yang berkembang dalam masyarakat.
Berdasarkan persepsi literer (kepustakaan) tersebut diatas, diyakini bahwa kerajaan Nagur pernah eksis di Sumatra Timur tepatnya di Simalungun. Paling tidak hal tersebut dibuktikan dengan adanya catatan-catatan dari pengelana asing yang singgah di Sumatra Timur dari abad ke-6 hingga ke 16. Demikian pula tersedianya manuskrip yang meriwayatkan kerajaan tersebut, ataupun dikenalnya kerajaan tersebut melalui tradisi lisan. Namun demikian, untuk memperjelas eksisitensi kerajaan tersebut, baiknya dilakukan penelitian dan pengkajian yang melibatkan lintas disiplin sehingga dapat diterima kebenarannya. Paling tidak, saran ini bermanfaat atau ditujukan kepada pemerintah kabupaten Simalungun di Pematang Raya, ataupun pihak-pihak, badan atau instansi yang berwenang, demikian pula lembaga kemasyarakatan Simalungun yang ada.
Penulis: Erond L. Damanik, M.Si
Peneliti pada Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial
Lembaga Penelitian Universitas Negeri Medan.
NAGUR : KERAJAAN BATTA ( BATAK )
Erond L. Damanik, M.Si : Kerajaan Nagur diyakini merupakan salah satu kerajaan besar di Sumatra Utara yang kini diperkirakan berlokasi di Simalungun, penguasa ataupun pemerintahnya adalah dinasti Damanik. Sumber-sumber tulisan tentang Nagur umumnya diperoleh dari tulisan pengelana Tiongkok seperti Cheng Ho dan Ma Huan. Tulisan-tulisan tersebut telah dikompilasi oleh Groenoveltd, dalam Historical Notes in Indonesia and Malay (1960). Selanjutnya, menurut catatan Parlindungan (2007) dalam bukunya Tuanku Rao, Nagur berdiri pada abad ke-5 dan runtuh pada abad ke-12. Dalam buku tersebut diuraikan bahwa, Raja Nagur terakhir yang bernama Mara Silo, pada saat keruntuhan swapraja tersebut melarikan diri ke Aceh, berganti nama dan menjadi Islam. Di Aceh ia dikenal dengan gelar Malik As Saleh (Malikul Saleh). Dalam Riwayat Raja-Raja Pasai (penulis dan tahun penulis tidak diketahui), diakui bahwa pendiri kerajaan Pasai adalah Merah Silu.
Apabila angka yang disebutkan oleh Parlindungan tersebut dikomparasikan dengan laporan admiral Zheng Zhe (Cheng Ho) maka akan didapat bahwa, hingga tahun 1423, kerajaan Nagur masih berdiri. Didalam buku Zheng Zhe: Bahariawan Muslim Tionghoa (2002) disebut bahwa, admiral tersebut mengunjungi Nagur sebanyak 3 (tiga) kali. Pasukannya sangat terkenal dengan senjata panah beracun dan berhasil menewaskan raja Aceh. Dalam laporan pengelana Tionghoa tersebut, nama Nagur dituliskan dengan ‘Nakkur’; ‘Nakureh’ atau ‘Japur’. Hal senada juga diketahui dalam laporan Ma Huan yakni Ying Yei Seng Lan, dimana nama Nagur yakni ‘Napur’ merupakan kerajaan ‘Batta’ (Batak).
NAGUR, TETANGGA KERAJAAN ARU ( KARO)
Selanjutnya, dalam laporan Tomme Pires, penguasa Portugis di Malaka (1512-1515), dalam bukunya Summa Oriental terjemahan Cortesao (1944), banyak menyinggung nama Nagur yang berdekatan dengan Aru. Atau dalam tulisan Mendes Pinto yang berjudul Acehs Crusades against the Batak 1539. Demikian pula laporan Marco Polo yang melakukan perjalanan ke Sumatra pada tahun 1292 yakni, Cannibals and Kings: Nothern Sumatra in the 1290s. Pengelana lainnya adalah laksamana Prancis bernama Augustin De Beaulieu yang melakukan perjalanan ke Sumatra (Pasai) pada tahun 1621 dalam tulisannya yang berjudul The Tyranny of Iskandar Muda. Demikian pula pengelana Maroko Ibnu Battuta yang singgah di Pasai pada tahun 1345 dalam laporannya The Sultanate of Pasai around 1345.
Kerajaan Nagur juga banyak disebut dalam tulisan-tulisan Melayu seperti yang dituliskan oleh T. Lukman Sinar SH (Pewaris kesultanan Serdang), dalam bukunya Sari Sejarah Serdang Jilid-I (1974) ataupun Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu Sumatra Timur (2007), ataupun TM. Lah Husny dalam bukunya Lintasan Sejarah Peradaban Penduduk Melayu Deli Sumatra Timur, (1976). Demikian pula dalam buku Tarik Aceh Jilid II yang batal diterbitkan. Selanjutnya, dalam tulisan-tulisan versi Karo seperti yang dilakukan oleh Brahmo Putro dalam bukunya Karo dari Zaman ke Zaman, (1984) justru cenderung ditulis dengan emosional, dengan cara meng-Karo-kan Aru, Nagur dan Batak Timur Raya.
Yang dimaksud dengan ‘Timur Raja’ dalam tulisan pemerintah colonial adalah kawasan Simalungun karena posisinya yang persis berada di pesisir Timur Sumatra Utara. Terbukanya tabir Sumatra secara heurastik, dimulai saat penguasa Inggris di Bengkulu yakni Thomas Raffles, mengutus William Marsden pada tahun 1770 untuk menyelidiki potensi ekonomi Sumatra. Buku penyelidikan tersebut kini sudah dibukukan dengan judul “The History of Sumatra (2007). Di dalam buku tersebut banyak dituliskan tentang potensi ekonomi di sepanjang sungai Asahan yang disebutnya dengan term ‘Batta’ (Batak). Kemungkinan yang dimaksud adalah orang Simalungun yang bermukim didaerah Itu.
Selanjutnya, pada tahun 1823, Whrite Philips, Gubernur Jenderal Inggris di Penang mengutus John Anderson untuk penyelidikan lebih intensif terhadap potensi ekonomi Sumatra. Buku laporan Anderson yang terkenal itu adalah Mission to the East Cost Sumatra yang diterbitkan pada tahun 1826. Buku tersebut, juga telah mendeskripsikan keadaan di Asahan atau pesisir timur Sumatra. Kuat dugaan bahwa penghuni Asahan pada saat itu adalah orang Simalungun dimana daerah domisili orang Simalungun pada saat itu memanjang hingga Asahan, Batubara dan Pagurawan (Juandaharaya dan Martin Lukito, Tole den Timorlanden das Evanggelium, 2003). Buku yang lebih sempurna, berdasarkan tinjauan akademis dan sistematika ilmiah adalah karangan Edwin M. Loeb (1935) dengan judul Sumatra: Its History and the People. Dalam karangan itu, juga disebut tentang riwayat kerajaan di Simalungun. Sampai saat ini, beberapa nama / penamaan tempat / desa masih bernuansa Simalungun di daerah Asahan dan Labuhan Batu.
Penyelidikan tentang kondisi sejarah, kebudayaan dan penguasaan daerah sangat penting dilakukan terutama terhadap laporan-laporan pemerinatah Kolonial seperti laporan kepurbakalaan (Oudheikundig Verslag, OV), Laporan umum (Algemeen Verslag, AV), laporan Politik (Politiek Verslag), Laporan Penanaman (Cultuur Verslag) atau juga Laporan Serah Terima Jabatan (Memorie van Overgrave), seperti yang diwajibkan dalam tata administrasi kolonial, karena laporan-laporan tersebut banyak menuliskan tentang kondisi wilayah yang sedang dikuasai. Di Simalungun, nama-nama yang mesti diperhatikan adalah Tidemann, Kroesen, Theis, Westenberg, Neumann, Voorhoeve, dan lain-lain.
Keberadaan Nagur (512-1252) seperti dalam buku Tuanku Rao karangan MOP, dikatakan bahwa ayahnya, Sutan Martua Raja (SMR) adalah seorang guru Kristen di Pematang Siantar dan banyak mengumpulkan bahan-bahan sejarah. Hanya saja, dokumen-dokumen tersebut musnah terbakar sebelum sempat ditulis dengan sempurna. Buku Tuaku Rao hanyalah 20% dari sejumlah dokumen yang dikumpulkan oleh SMR. Bisa jadi, laporan SMR tentang Simalungun ikut musnah terbakar.
Apabila angka yang disebutkan oleh Parlindungan tersebut dikomparasikan dengan laporan admiral Zheng Zhe (Cheng Ho) maka akan didapat bahwa, hingga tahun 1423, kerajaan Nagur masih berdiri. Didalam buku Zheng Zhe: Bahariawan Muslim Tionghoa (2002) disebut bahwa, admiral tersebut mengunjungi Nagur sebanyak 3 (tiga) kali. Pasukannya sangat terkenal dengan senjata panah beracun dan berhasil menewaskan raja Aceh. Dalam laporan pengelana Tionghoa tersebut, nama Nagur dituliskan dengan ‘Nakkur’; ‘Nakureh’ atau ‘Japur’. Hal senada juga diketahui dalam laporan Ma Huan yakni Ying Yei Seng Lan, dimana nama Nagur yakni ‘Napur’ merupakan kerajaan ‘Batta’ (Batak).
NAGUR, TETANGGA KERAJAAN ARU ( KARO)
Selanjutnya, dalam laporan Tomme Pires, penguasa Portugis di Malaka (1512-1515), dalam bukunya Summa Oriental terjemahan Cortesao (1944), banyak menyinggung nama Nagur yang berdekatan dengan Aru. Atau dalam tulisan Mendes Pinto yang berjudul Acehs Crusades against the Batak 1539. Demikian pula laporan Marco Polo yang melakukan perjalanan ke Sumatra pada tahun 1292 yakni, Cannibals and Kings: Nothern Sumatra in the 1290s. Pengelana lainnya adalah laksamana Prancis bernama Augustin De Beaulieu yang melakukan perjalanan ke Sumatra (Pasai) pada tahun 1621 dalam tulisannya yang berjudul The Tyranny of Iskandar Muda. Demikian pula pengelana Maroko Ibnu Battuta yang singgah di Pasai pada tahun 1345 dalam laporannya The Sultanate of Pasai around 1345.
Kerajaan Nagur juga banyak disebut dalam tulisan-tulisan Melayu seperti yang dituliskan oleh T. Lukman Sinar SH (Pewaris kesultanan Serdang), dalam bukunya Sari Sejarah Serdang Jilid-I (1974) ataupun Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu Sumatra Timur (2007), ataupun TM. Lah Husny dalam bukunya Lintasan Sejarah Peradaban Penduduk Melayu Deli Sumatra Timur, (1976). Demikian pula dalam buku Tarik Aceh Jilid II yang batal diterbitkan. Selanjutnya, dalam tulisan-tulisan versi Karo seperti yang dilakukan oleh Brahmo Putro dalam bukunya Karo dari Zaman ke Zaman, (1984) justru cenderung ditulis dengan emosional, dengan cara meng-Karo-kan Aru, Nagur dan Batak Timur Raya.
Yang dimaksud dengan ‘Timur Raja’ dalam tulisan pemerintah colonial adalah kawasan Simalungun karena posisinya yang persis berada di pesisir Timur Sumatra Utara. Terbukanya tabir Sumatra secara heurastik, dimulai saat penguasa Inggris di Bengkulu yakni Thomas Raffles, mengutus William Marsden pada tahun 1770 untuk menyelidiki potensi ekonomi Sumatra. Buku penyelidikan tersebut kini sudah dibukukan dengan judul “The History of Sumatra (2007). Di dalam buku tersebut banyak dituliskan tentang potensi ekonomi di sepanjang sungai Asahan yang disebutnya dengan term ‘Batta’ (Batak). Kemungkinan yang dimaksud adalah orang Simalungun yang bermukim didaerah Itu.
Selanjutnya, pada tahun 1823, Whrite Philips, Gubernur Jenderal Inggris di Penang mengutus John Anderson untuk penyelidikan lebih intensif terhadap potensi ekonomi Sumatra. Buku laporan Anderson yang terkenal itu adalah Mission to the East Cost Sumatra yang diterbitkan pada tahun 1826. Buku tersebut, juga telah mendeskripsikan keadaan di Asahan atau pesisir timur Sumatra. Kuat dugaan bahwa penghuni Asahan pada saat itu adalah orang Simalungun dimana daerah domisili orang Simalungun pada saat itu memanjang hingga Asahan, Batubara dan Pagurawan (Juandaharaya dan Martin Lukito, Tole den Timorlanden das Evanggelium, 2003). Buku yang lebih sempurna, berdasarkan tinjauan akademis dan sistematika ilmiah adalah karangan Edwin M. Loeb (1935) dengan judul Sumatra: Its History and the People. Dalam karangan itu, juga disebut tentang riwayat kerajaan di Simalungun. Sampai saat ini, beberapa nama / penamaan tempat / desa masih bernuansa Simalungun di daerah Asahan dan Labuhan Batu.
Penyelidikan tentang kondisi sejarah, kebudayaan dan penguasaan daerah sangat penting dilakukan terutama terhadap laporan-laporan pemerinatah Kolonial seperti laporan kepurbakalaan (Oudheikundig Verslag, OV), Laporan umum (Algemeen Verslag, AV), laporan Politik (Politiek Verslag), Laporan Penanaman (Cultuur Verslag) atau juga Laporan Serah Terima Jabatan (Memorie van Overgrave), seperti yang diwajibkan dalam tata administrasi kolonial, karena laporan-laporan tersebut banyak menuliskan tentang kondisi wilayah yang sedang dikuasai. Di Simalungun, nama-nama yang mesti diperhatikan adalah Tidemann, Kroesen, Theis, Westenberg, Neumann, Voorhoeve, dan lain-lain.
Keberadaan Nagur (512-1252) seperti dalam buku Tuanku Rao karangan MOP, dikatakan bahwa ayahnya, Sutan Martua Raja (SMR) adalah seorang guru Kristen di Pematang Siantar dan banyak mengumpulkan bahan-bahan sejarah. Hanya saja, dokumen-dokumen tersebut musnah terbakar sebelum sempat ditulis dengan sempurna. Buku Tuaku Rao hanyalah 20% dari sejumlah dokumen yang dikumpulkan oleh SMR. Bisa jadi, laporan SMR tentang Simalungun ikut musnah terbakar.
KEBERADAAN SUKU BATTA ATAU BATAK di SUMATERA
Marco Polo, mencatat bahwa etnik BATTA atau BATAK merupakan suku barbar (kanibal) sebagaimana peradaban pad era tahun 1290 (di benua Eropa). Sir Thomas Stamford Raffles, pernah mengunjungi Sumatera dan menemui suku BATAK. Ia mendapati suku BATAK yang memiliki variasi budaya dan hukum soial budaya.
Banyak buku-buku ilmiah yang telah dipublikasi oleh para petualang Eropa yang telah mengunjungi pulau Sumatera, khususnya suku Batak. Dalam berbagai sebutan mereka adalah suku Batta. Diantaranya mengatakan bahwa etnik Batak (Batta) telah ada di Sumatera jauh sebelum jaman Hindu. Bahkan dikatakan juga , bahasa Batak memeliki kesesuaian dengan bahasa Sansekerta Kuno ( San Scrit Origin ). Dikatakan pula, memiliki banyak persamaan kosa kata dengan bahasa lain seperti etnik : Jawa, Melayu, Minangkabau, Nias, Sunda, Makasar dan Tagalog (Philiphine).
Tahun 1866, Prof. Albert S. Bickmore, mengunjungi Sumatera Timur dan melihat populasi suku Batak yang besar. Bickmore berpendapat bahwa suku ini populasi bertumbuh dan berkembang di daerah ini, yaitu sekitar Danau Toba dan dataran Silindung. Dari sini lah kemudian populasi ini menyebar menuju pesisir dan kemudian berbaur dengan populasi Melayu di pesisir.
Read more >>>
Suku Batta dikenal disebabkan kepercayaan mereka yang memuja dewa Bata ( Na i Bata ) atau Debata atau Dibata. Suku Batta diyakini para penulis terdahulu sebagai suku dalam dan dikenal sebagai Kanibal. Masuknya peradaban Budha dan Hindu pada awal abad ke-6 ke Sumatera membawa perubahan kultur social. Hal ini dapat dilihat dari system monarkhi dan feodlaisme kerajaan-kerajaan terdahulu du Sumatera Timur yang dipengaruhi budaya-budaya Budha dan Hindu. Konon Batak terdesak ke pedalam setelah mulai masuknya pengaruh pedangan-pedangan Persia dan Arab pada Abad ke-7. Dekade ini sekaligus dikenal sebagai awal penyebaran ajaram Islam di Nusantara. Adalah Kerajaan Samudera Pase atau Samudra Pasai di Semenanjung Malaka ( Aceh / Achin ) sebagai bagian dari negeri Batta dan kemudian menjadi Kerajaan Islam pertama di Nusantara. Kerajaan modern Samudra Pasai kemudian melakukan terus melakukan penguasaan sampai keseluruh negeri Batta dan Minang Kabau.
Dalam dekade ini, pengaruh Budha dan Hindu semakin tersingkirkan dan digantikan dengan pengaruh dan ajaran Islam. Populasi Batta kemudian menjadi tercerai berai karena seringnya terjadi perang saudara diantara mereka akibat pengaruh kepentingan kereajaan-kerajaan moder pesisir waktu itu.
Pengaruh Hindu terbesar Hindu di Singasari kemudian melakukan invasi ke sumatera , Kerajaan Samudera Pasai. Pada fase ini, Pasukan Singasari dapat dipukul pasukan Samudra Pasai, bahkan konon pasukan Singasari banyak tercerai berai dipedalamnan Sumatera Timur dan akhirnya bersatu dengan populasi Batta. Dampak lain juga, di Sumatera Timur kemudian terlahir kerajaan kerajaan baru, seperti : Aceh , Tamiang, Siak. Namun demkian populasi Batta tidak memiliki kerajaan ( modern ) yang utuh, Populasi Batta tinggal berkelompok dan hidup berpindah-pindah dari satu belantara ke belantara yang lain. Meski populasi Batta memiliki sosial kekerabatan yang kuat, namun mereka terkotak-kotak, sehingga populasi ini lemah dan mudah di provokasi.
Takluknya kerajaan hindu Singasari kepada Majapahit membuat Samudra Pasai juga harus terbelah ketika Majapahit ( oleh Patih Gajah Mada ) melakukan invasi dan menundukkan Samudra pasai dan kemudian Majapahit mendirikan kerajaan-kerajaan satelit seperti Aceh Tamiang yang tunduk kepada Majapahit.
Banyak buku-buku ilmiah yang telah dipublikasi oleh para petualang Eropa yang telah mengunjungi pulau Sumatera, khususnya suku Batak. Dalam berbagai sebutan mereka adalah suku Batta. Diantaranya mengatakan bahwa etnik Batak (Batta) telah ada di Sumatera jauh sebelum jaman Hindu. Bahkan dikatakan juga , bahasa Batak memeliki kesesuaian dengan bahasa Sansekerta Kuno ( San Scrit Origin ). Dikatakan pula, memiliki banyak persamaan kosa kata dengan bahasa lain seperti etnik : Jawa, Melayu, Minangkabau, Nias, Sunda, Makasar dan Tagalog (Philiphine).
Tahun 1866, Prof. Albert S. Bickmore, mengunjungi Sumatera Timur dan melihat populasi suku Batak yang besar. Bickmore berpendapat bahwa suku ini populasi bertumbuh dan berkembang di daerah ini, yaitu sekitar Danau Toba dan dataran Silindung. Dari sini lah kemudian populasi ini menyebar menuju pesisir dan kemudian berbaur dengan populasi Melayu di pesisir.
Read more >>>
Suku Batta dikenal disebabkan kepercayaan mereka yang memuja dewa Bata ( Na i Bata ) atau Debata atau Dibata. Suku Batta diyakini para penulis terdahulu sebagai suku dalam dan dikenal sebagai Kanibal. Masuknya peradaban Budha dan Hindu pada awal abad ke-6 ke Sumatera membawa perubahan kultur social. Hal ini dapat dilihat dari system monarkhi dan feodlaisme kerajaan-kerajaan terdahulu du Sumatera Timur yang dipengaruhi budaya-budaya Budha dan Hindu. Konon Batak terdesak ke pedalam setelah mulai masuknya pengaruh pedangan-pedangan Persia dan Arab pada Abad ke-7. Dekade ini sekaligus dikenal sebagai awal penyebaran ajaram Islam di Nusantara. Adalah Kerajaan Samudera Pase atau Samudra Pasai di Semenanjung Malaka ( Aceh / Achin ) sebagai bagian dari negeri Batta dan kemudian menjadi Kerajaan Islam pertama di Nusantara. Kerajaan modern Samudra Pasai kemudian melakukan terus melakukan penguasaan sampai keseluruh negeri Batta dan Minang Kabau.
Dalam dekade ini, pengaruh Budha dan Hindu semakin tersingkirkan dan digantikan dengan pengaruh dan ajaran Islam. Populasi Batta kemudian menjadi tercerai berai karena seringnya terjadi perang saudara diantara mereka akibat pengaruh kepentingan kereajaan-kerajaan moder pesisir waktu itu.
Pengaruh Hindu terbesar Hindu di Singasari kemudian melakukan invasi ke sumatera , Kerajaan Samudera Pasai. Pada fase ini, Pasukan Singasari dapat dipukul pasukan Samudra Pasai, bahkan konon pasukan Singasari banyak tercerai berai dipedalamnan Sumatera Timur dan akhirnya bersatu dengan populasi Batta. Dampak lain juga, di Sumatera Timur kemudian terlahir kerajaan kerajaan baru, seperti : Aceh , Tamiang, Siak. Namun demkian populasi Batta tidak memiliki kerajaan ( modern ) yang utuh, Populasi Batta tinggal berkelompok dan hidup berpindah-pindah dari satu belantara ke belantara yang lain. Meski populasi Batta memiliki sosial kekerabatan yang kuat, namun mereka terkotak-kotak, sehingga populasi ini lemah dan mudah di provokasi.
Takluknya kerajaan hindu Singasari kepada Majapahit membuat Samudra Pasai juga harus terbelah ketika Majapahit ( oleh Patih Gajah Mada ) melakukan invasi dan menundukkan Samudra pasai dan kemudian Majapahit mendirikan kerajaan-kerajaan satelit seperti Aceh Tamiang yang tunduk kepada Majapahit.
Senin, 12 April 2010
KILAS SEJARAH ALKITAB
Berabad-abad lamanya, Alkitab merupakan sebuah kitab yang bungkam untuk kebanyakan orang di seluruh dunia.
Ada tiga alasan yang menjadi penghalang sehingga isi Firman Allah itu umumnya tidak dikenal oleh orang-orang biasa. Mula-mula, pada zaman dahulu hanya ada satu cara untuk memperbanyak salinan-salinan Alkitab: dengan tulisan tangan. Jadi, salinan-salinan Alkitab itu sangat langka dan sangat mahal harganya. Juga, kebanyakan pemimpin umat Kristen pada zaman dahulu berpendapat bahwa jika orang-orang biasa diizinkan membaca Alkitab sendiri, pasti akan timbul banyak tafsiran yang salah. Jadi (menurut pikiran mereka), lebih baik jika hak istimewa untuk memiliki Alkitab itu dimonopoli saja oleh para rohaniawan. Alasan ketiga ialah, kebanyakan Alkitab pada zaman dahulu masih ditulis dalam bahasa-bahasa kuno. Jadi, kebanyakan orang tidak dapat membacanya, pun tidak dapat mengerti isinya jika dibacakan oleh orang lain.
Mulai pada abad yang ke-15 dan ke-16, ketiga alasan yang menjadi penghalang itu berturut-turut dihapus. Pertama-tama, seni cetak ditemukan oleh orang-orang Barat (walau pada hakikatnya orang-orang Timur sudah lebih dahulu menemukannya!). Buku lengkap yang pertama-tama dicetak ialah: Alkitab. Maka salinan-salinan Alkitab menjadi jauh lebih mudah diperoleh. Read more >>>
Ada tiga alasan yang menjadi penghalang sehingga isi Firman Allah itu umumnya tidak dikenal oleh orang-orang biasa. Mula-mula, pada zaman dahulu hanya ada satu cara untuk memperbanyak salinan-salinan Alkitab: dengan tulisan tangan. Jadi, salinan-salinan Alkitab itu sangat langka dan sangat mahal harganya. Juga, kebanyakan pemimpin umat Kristen pada zaman dahulu berpendapat bahwa jika orang-orang biasa diizinkan membaca Alkitab sendiri, pasti akan timbul banyak tafsiran yang salah. Jadi (menurut pikiran mereka), lebih baik jika hak istimewa untuk memiliki Alkitab itu dimonopoli saja oleh para rohaniawan. Alasan ketiga ialah, kebanyakan Alkitab pada zaman dahulu masih ditulis dalam bahasa-bahasa kuno. Jadi, kebanyakan orang tidak dapat membacanya, pun tidak dapat mengerti isinya jika dibacakan oleh orang lain.
Mulai pada abad yang ke-15 dan ke-16, ketiga alasan yang menjadi penghalang itu berturut-turut dihapus. Pertama-tama, seni cetak ditemukan oleh orang-orang Barat (walau pada hakikatnya orang-orang Timur sudah lebih dahulu menemukannya!). Buku lengkap yang pertama-tama dicetak ialah: Alkitab. Maka salinan-salinan Alkitab menjadi jauh lebih mudah diperoleh. Read more >>>
Kamis, 01 April 2010
Asal kata Easter ( Paskah )
Apakah Anda tahu tentang sejarah kata "Easter" ?
Easter merupakan kata bahasa Inggris yg berasal dari akar kata bahasa proto-Germanic yang memiliki arti "to rise" (atau bangkit). Dalam bahasa Jerman kontemporer kata "oest" dan dalam bahasa Inggris kata "east" -- keduanya memiliki arti Timur -- petunjuk arah saat matahari terbit (to rise -- bangkit dari kegelapan malam) di pagi hari; ini menjadi akar kata untuk "Easter". Fakta ini tidak hanya menunjuk pada kebangkitan Yesus dari kematian, namun juga kenaikan-Nya (to rise) ke Surga dan nanti saat kita terangkat (to rise) ke surga bersama-sama dengan Yesus Kristus saat Dia datang kembali untuk menghakimi dunia. Di Indonesia, istilan Easter adalah PASKAH.
Ada sebagian orang yang tidak percaya dan menganggap tidak benar bahwa kata "Easter" berasal dari "dewi Oestar" (Germanic) ataupun "dewi Ishtar"(Babilon, Arabia). Kedua dewi ini merupakan simbol kesuburan yang menunjukkan datangnya musim semi, kehidupan baru, dan pembaharuan. Penyimpangan kata "Ishtar" dapat dijumpai dalam Alkitab sebagai pahlawan wanita Yahudi yang bernama "Esther", yang mengabaikan keselamatan nyawanya sendiri demi kepentingan bangsanya. Read More ?
Easter merupakan kata bahasa Inggris yg berasal dari akar kata bahasa proto-Germanic yang memiliki arti "to rise" (atau bangkit). Dalam bahasa Jerman kontemporer kata "oest" dan dalam bahasa Inggris kata "east" -- keduanya memiliki arti Timur -- petunjuk arah saat matahari terbit (to rise -- bangkit dari kegelapan malam) di pagi hari; ini menjadi akar kata untuk "Easter". Fakta ini tidak hanya menunjuk pada kebangkitan Yesus dari kematian, namun juga kenaikan-Nya (to rise) ke Surga dan nanti saat kita terangkat (to rise) ke surga bersama-sama dengan Yesus Kristus saat Dia datang kembali untuk menghakimi dunia. Di Indonesia, istilan Easter adalah PASKAH.
Ada sebagian orang yang tidak percaya dan menganggap tidak benar bahwa kata "Easter" berasal dari "dewi Oestar" (Germanic) ataupun "dewi Ishtar"(Babilon, Arabia). Kedua dewi ini merupakan simbol kesuburan yang menunjukkan datangnya musim semi, kehidupan baru, dan pembaharuan. Penyimpangan kata "Ishtar" dapat dijumpai dalam Alkitab sebagai pahlawan wanita Yahudi yang bernama "Esther", yang mengabaikan keselamatan nyawanya sendiri demi kepentingan bangsanya. Read More ?
Langganan:
Postingan (Atom)